Oleh : Iman Widodo
Latar Belakang
Mohammad Hatta lahir di Bukit Tinggi, Sumatra Barat pada 12 agustus 1902. nama aslinya adalah Mohammad Ibnu ‘Atha’. Nama ini terinspirasi oleh Mohammad Ibnu ‘Atha’ illah al-askandari, pengarang kitab Al-Hikam, sebuah buku sufistik yang terkenal di kalangan pesantren ataupun surau (Madjid,2002). Dia berasal dari keluarga kaya yang juga kuat agamanya. Kakeknya, Syaikh Abdurrahman (1777-1899) adalah pendiri utama Surau Batuampar, Payakumbuh, sebuah pesantren yang menjadi pusat pengajaran Thariqah Naqshabandiyyah. Ayahnya, Hadji Mohammad Djamil (syaikh Batuampar) merupakan ulama pedagang yang terkenal di daerahnya. Dan ibunya, merupakan keturunan keluarga terkaya di kota itu(Noer,1990). Sebagai sosok yang tinggal di keluarga yang mempunyai tradisi matrilineal, Minangkabau, Hatta tinggal bersama 6 saudara perempuan di keluarga ibunya.
Dari latar belakang keluarga itulah akhirnya Hatta bisa bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) di Padang (1913 -1916) setelah berhasil menyelesaikan Sekolah Melayu di Bukittinggi. Kemudian, ia sempat merndaftar ke Hogere burgerschool (HBS) di Jakarta. Namun karena ibunya merasa ia terlalu muda untuk tinggal sendiri di Jakarta. Akhirnya ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di padang.
Sejak tahun kedua masa studinya di MULO (1918) atau sekitar umur 17 tahun, ia mulai tertarik pada organisasi pemuda-pelajar; Jong Sumatranen Bond. Rasa ketertarikannya tersebut makin mendalam saat belajar di Jakarta dan kemudian berlanjut pada waktu pergi ke Belanda untuk belajar di Handels-Hoogeschool tahun 1922 (Noer, 1990).
Pemahaman agama Islam ia dapat sejak masa kanak-kanak dari keluarganya yang berpaham Sufisme. Kemudian, menginjak usia remaja ia juga mendapat pengajaran agama yang bersifat Reformis-modernis dari Abdulloh Achmad di Padang dan Djamil Djambek di Bukit Tinggi. Bahkan ia sudah bisa menghafal Al-qur’an setelah lulus ELS.
Pemahaman agama Islam ia dapat sejak masa kanak-kanak dari keluarganya yang berpaham Sufisme. Kemudian, menginjak usia remaja ia juga mendapat pengajaran agama yang bersifat Reformis-modernis dari Abdulloh Achmad di Padang dan Djamil Djambek di Bukit Tinggi. Bahkan ia sudah bisa menghafal Al-qur’an setelah lulus ELS.
Karena telah lama di besarkan dilingkungan agama yang sangat kuat, kemudian mendapat pelajaran dan tinggal di lingkungan sekuler yang lama juga, Hatta menjadi sosok muslim yang taat secara pribadi, namun menganut nilai-nilai inklusif secara politik.
Karena telah lama di besarkan dilingkungan agama yang sangat kuat, kemudian mendapat pelajaran dan tinggal di lingkungan sekuler yang lama juga, Hatta menjadi sosok muslim yang taat secara pribadi, namun menganut nilai-nilai inklusif secara politik.
Gerak Perjuangan
Meski awalnya sempat mengurungkan niatnya, Hatta akhirnya meneruskan juga studi di HBS Jakarta pada tahun 1919 (Kahin, 1980). Kemudian dia melanjutkan di Rotterdam School of Commerce di Belanda untuk mengambil jurusan ekonomi sampai jenjang doktoral. Selama belajar, kehidupan politik memenuhi sepak terjang Hatta. Di Belanda ia bergabung dengan Indische Vereniging. Sebuah organisasi pelajar indonesia di Belanda yang kemudian berubah menjadi Indonesische Vereniging pada tahun 1922. organisasi inilah yang selanjutnya terkenal dengan Perhimpunan Indonesia (PI).
Pada tahun 1922-1925 Hatta menjabat sebagai bendahara PI. Kemudian menjadi ketua tahun1926-1930. pada saat pelantikan ketua ia menyampaikan pidatonya yang bertema Tatanan Ekonomi Global dan Konflik Kekuasaan (Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen). Inti dari pidato tersebut adalah: agar bisa mencapai cita-cita kemerdekaan, Indonesia harus non-kooperatif dengan Belanda. Dari situlah, tujuan PI yang awalnya hanya sebatas organisasi pelajar, kemudian berubah menjadi Organisasi politik dan pergerakan yang tegas menyerukan kemerdekaan Indonesia (swasono, 1980).
Hatta dan Ekonomi Kerakyatan
Bung Hatta, dalam gerak perjuangannya banyak mengkritisi masalah ekonomi Indonesia kala itu lewat tulisan-tulisannya. Menyikapi sistem ekonomi Belanda yang saat itu banyak di dukung kaum feudal dalam negeri serta para komprador, pada tahun 1933 ia menulis: Ekonomi Rakyat dalam Bahaya. Dalam tulisan tersebut Hatta berpendapat bahwa mengenyahkan sistem ekonomi kolonial Belanda merupakan landasan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Menurut Hatta struktur sosial-ekonomi rakyat Indonesia pada zaman kolonial Belanda menempati struktur terbawah. Dampaknya, ekonomi rakyat pribumi selalu mengalami tekanan dalam konstalasi ekonomi saat itu. Ancaman, pemaksaan, manipulasi, otoritas dan kepemimpinan paksa menjadikan rakyat pribumi selalu dalam posisi korban. Rakyat hanya berperan sebagai konsumen yang nasibnya sangat bergantung pada saudagar asing lewat jalan piutang. Harga barang pun hanya ditentukan oleh asing. Jika ada rakyat yang sebagai penjual, ia hanya bisa menjual barangnya dengan harga semurah-murahnya. Jika pembeli, hanya mampu membeli dengan semahal-mahalnya.
untuk lebih lengkap dapat dilihat pada http://www.rahmatan.org/artikel/mengingat-sejarah/160-bung-hatta-sang-proklamator-dan-bapak-ekonomi-kerakyatan
Jurnal Konvergensi PSAK ke IFRS
13 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar