Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Tampilkan postingan dengan label Tulisan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tulisan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 Juni 2010

Indeks di Bursa

Indeks harga saham merupakan indikator perdagangan saham yang dibuat berdasarkan rumusan tertentu untuk mencerminkan tingkat aktivitas dan fluktuasi sebuah bursa efek. Setiap bursa efek mempunyai indikator tersendiri. Bursa saham di Indonesia yaitu: Bursa Efek Indonesia (BEI) saat ini memiliki beberapa indeks, yaitu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) BEI, Indeks LQ45, Indeks Sektoral, dan yang terbaru adalah JII (Jakarta Islamic Index).

1. IHSG BEI atau JCI (Jakarta Composite Index)

IHSG BEI merupakan indikator pergerakan harga atas seluruh saham yang tercatat di BEI, di mana satuan perubahan indeks dinyatakan dalam satuan poin. Metode perhitungan index yang dipakai adalah = (Kapitalisasi pasar pada saat perhitungan / kapitalisasi pasar pada tahun dasar perhitungan) x 100 %. Tahun dasar perhitungan yang dipakai adalah tahun 1995 saat diimplementasikannya sistem baru di BEJ, sejalan dengan keluarnya UUPM No. 8/1995. Dengan model perhitungan seperti ini, setiap jenis saham akan mempunyai bobot yang berbeda. Semakin besar kapitalisasi pasarnya, semakin besar bobotnya.

2. Indeks LQ-45

Indeks LQ45 adalah indeks dari 45 saham yang telah terpilih yang memiliki likuidasi dan kapitalisasi pasar yang tinggi. Kriteria pada saham-saham ini terus direview setiap 6 bulan se-kali. Saham-saham pada indeks LQ45 harus memenuhi kriteria dan melewati seleksi utama sebagai berikut yang lengkapnya adalah sebagai berikut:

-Masuk dalam rangking 60 besar dari total transaksi saham di pasar regular (rata-rata nilai transaksi selama 12 bulan terakhir).
-Ranking berdasar kapitalisasi pasar (rata-rata kapitalisasi pasar selama 12 bulan terakhir).
-Telah tercatat di BEI minimum 3 bulan.
-Keadaan keuangan perusahaan dan prospek pertumbuhannya, frekuensi dan jumlah ha-ri perdagangan transaksi pasar reguler.

3. Indeks Sektoral

Indeks sektoral menggunakan semua saham yang termasuk ke dalam masing-masing sektor dan merupakan sub indeks dari IHSG. Saham-saham yang tercatat di BEI dikelompokan ke dalam 9 sektor menurut klasifikasi industri yang telah ditetapkan BEI (JASICA = Jakarta Stock Exchange Industrial Classification). Sektor-sektor tersebut adalah:

•Sektor Pertanian
•Sektor pertambangan
•Sektor Industri dasar dan kimia
•Sektor Aneka industri
•Sektor Industri Barang konsumsi
•Sektor Properti dan Real Estate
•Sektor Transportasi dan Infrastruktur
•Sektor Keuangan
•Sektor Perdagangan, Jasa, dan Investasi
Dari masing-masing sektor tersebut, selanjutnya masih terdapat pengklasifikasian lebih lan-jut ke dalam sub-sub sektor. Sebagai contoh adalah sub sektor perbankan yang masuk ke dalam sektor keuangan.

4.Jakarta Islamic Index (JII)

Indeks ini terdiri dari 30 saham yang sesuai dengan syariah Islam dan merupakan tolok ukur kinerja suatu investasi saham berbasis syariah. Syarat pemilihan saham pada umumnya sama dengan LQ-45, namun lebih ditekankan pada jenis usaha emiten yang tidak boleh berten-tangan dengan syariah Islam, seperti bukan usaha yang tergolong judi, lembaga keuangan konvensional, bukan usaha yang memproduksi, mendistribusikan, dan memperdagangkan makanan/minuman yang tergolong haram, dan bukan usaha yang memproduksi, mensistri-busikan atau menyediakan barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat. JII juga akan di kaji setiap 6 bulan sekali, yaitu pada setiap bulan Januari dan Juli. Melalui pem-bentukan indeks ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan inverstor untuk mengem-bangkan investasi secara syariah.

Jenis Order Saham

Dalam melakukan transaksi jual maupun beli saham, pialang menghadapi berbagai jenis order. Beberapa jenis order yang kita kenal di antaranya adalah market order, limit order, stop order dan stop limit order.



•Market Order
merupakan jenis order yang paling umum. Pada jenis ini, investor menginstruksikan kepada pialang untuk membeli atau menjual saham dalam jumlah ter-tentu dengan segera. Pialang selanjutnya bertanggung jawab untuk mengambil tindakan atas dasar usaha terbaik untuk mendapatkan harga yang terbaik dari harga Bid dan Offer yang terjadi pada saat order dibuat oleh investor. Harga yang terbaik adalah harga yang tinggi untuk order penjualan, dan harga yang rendah untuk order pembelian. Pada umumnya, investor juga memberikan patokan harga tertentu sebagai informasi bagi pia-lang dalam mengeksekusi order resebut.

•Limit Order.
Pada jenis ini, investor memberikan batas harga tertentu kepada pialang. Dalam hal order beli, pialang akan melaksanakan order tersebut hanya pada harga yang telah ditentukan atau harga yang lebih rendah dari batas harga yang diberikan investor. Jika ordernya adalah order jual, maka pialang akan malaksanakan order jika harga saham lebih tinggi atau sama dengan batas harga yang ditentukan. Order jenis ini cenderung sulit dijalankan, karena terdapat ketidakpastian harga, ketidakpastian kapan order dija-lankan, dan karena adanya batasan harga. Contoh: Harga pasar saham PT. ABC saat ini Rp. 750,- seorang investor memberikan limit order untuk menjual 100 lembar saham ABC dengan batas harga Rp. 800,- per lembar saham dalam satu hari tertentu. Hal ini kemungkinan sulit dilaksanakan mengingat harga yang diminta lebih tinggi, kecuali bila harga saham tersebut naik Rp. 50,- per lembar.

•Stop order
terdiri dari stop order (atau sering disebut stop-loss order) dan stop limit order (li-hat No.4). Stop-loss order dilakukan bila investor menentukan batas harga (stop price). Jika ia akan melakukan order jual, maka stop-loss order adalah batas harga bawah pialang tidak boleh (stop) menjual sahamnya di bawah harga itu untuk menghindari kerugian. Keba-likannya, untuk order beli, maka stop-loss order adalah batas harga atas di mana pialang tidak boleh membeli saham diatas harga tersebut. jika kemudian ada pihak lain yang memperdagangkan saham tersebut dengan harga yang sama atau melebihi harga yang ditentukan, maka penghentian order diberlakukan. Misalnya: stop-loss order jual ditetap-kan Rp 750,-, maka penjualan hanya dilakukan pada harga terbaik diatas harga Rp 750,- dan bila stop-loss order beli ditetapkan Rp 800,-, maka pembelian dilakukan pada harga terbaik dibawah harga Rp 800,-.

•Stop limit order
adalah jenis order yang bertujuan untuk mengurangi ketidakpastian eksekusi harga yang berasosiasi dengan stop order. Dengan stop limit order, investor me-nentukan dua batas harga, yaitu order price dan limit price. Ketika saham diperdagangkan pada harga yang sama atau melebihi harga stop order yang telah ditentukan, maka ter-bentuklah stop limit order pada limit price untuk order beli yang ditentukan oleh inves-tor. Contohnya, stop order ditentukan Rp. 800,-, dan saham bergerak menuju Rp. 825,-. Investor kemudian menentukan Rp. 825,- sebagai limit price maka pialang akan membeli saham dengan harga terbaik dibawah harga Rp. 825,- atau Rp. 800,-. Sebaliknya bila sa-ham diperdagangkan pada harga yang sama atau kurang dari harga stop order, maka terben-tuklah stop limit order price untuk order jual yang ditentukan investor. Misalnya, stop order ditentukan Rp.800,- dan harga saham bergerak menuju Rp. 775,-, investor menentukan Rp. 775,- sebagai limit price, maka pialang akan menjual saham tersebut dengan harga terbaik di atas stop limit order Rp. 775,- atau di atas stop order price Rp.800,-.

PENERAPAN PENGENDALIAN INTERN PADA SISTEM APLIKASI PERBANKAN

Pengendalian intern adalah metode-metode atau prosedur-prosedur yang digunakan dalam proses bisnis untuk menjaga kekayaan perusahaan, memonitor keakuratan data keuangan serta mendorong efisiensi operasi, dan melaksanakan kebijakan manajemen (Zucconi, 1987). Sedangkan menurut Muljono (1992), pengendalian internal meliputi susunan organisasi dan semua cara dan peraturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan untuk menjaga dan mengamankan harta miliknya, memeriksa kecermatan dan kebenaran data-data administrasi/keuangan, memajukan efisiensi kerja dan mendorong dipatuhinya kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh top management.

Pengendalian internal di bank yang sudah menerapkan teknologi komputer dalam operasionalnya harus tercermin dalam aplikasi komputer yang digunakan tersebut. Masalahnya adalah bagaimana bentuk implementasi internal control yang memadai tersebut. Beberapa pedoman umum yang dapat diikuti, yaitu :

1.Adanya plan of organization yang dilengkapi dengan pemisahan wewenang dan tanggung jawab secara fungsional, yaitu :

a.Pemisahan fungsi penyimpanan dari asset dan fungsi akuntansi/administrasi
b.Pemisahan fungsi penyimpanan dan pejabat yang mempunyai wewenang dalam melaksanakan transkasi, misalnya pemisahan fungsi teller dengan pejabat yang mengotorisasi transaksi dengan nominal sangat besar
c.Pemisahan petugas operasional dengan fungsi administrasi

2.Adanya sistem pembagian wewenang yang memadai dalam setiap proses kegiatan

3.Adanya praktek-praktek kerja yang sehat dalam melaksanakan setiap tugas dan fungsi yang harus dilakukan oleh setiap tingkat manajemen dan oleh semua personalia di masing-masing bank

4.Adanya tingkat kualitas personil yang sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya

Risiko Aplikasi Perbankan

Penggunaan teknologi computer dan komunikasi di bidang perbankan, pada satu sisi dapat meningkatkan efisiensi kegiatan operasional, kualitas dan kecepatan pelayanan pada nasabah yang pada akhirnya akan meningkatkan keunggulan bersaing bank tersebut. Sedangkan di sisi lain mengandung risiko potensial, yang apabila tidak diantisipasi dengan baik akan merugikan bank yang bersangkutan. Menurut Soepraptomo (1994), ada tiga jenis risiko yang dihadapi bank dalam penggunaan teknologi informasi dan komputer. Pertama, environment risk atau risiko yang berasal dari lingkungan intern dan ekstern bank yang meliputi faktor loyalitas staf dan kesadaran atas pengamanan. Kedua, operation risk atau risiko yang lahir akibat kegiatan operasional bank, sehingga semakin besar skala kegiatan yang dikomputerisasikan, maka semakin besar potensi kejahatan yang mungkin muncul. Ketiga, produk atau service risk yaitu risiko yang muncul karena bank melansir satu produk atau jasa.

Penggunaan teknologi sistem informasi (TSI) dalam melakukan pemrosesan data sangat berbeda dari sistem manual. Walaupun kedua sistem tersebut sama-sama dapat menimbulkan risiko, akan tetapi penggunaan TSI memiliki risiko yang lebih bersifat teknis dan khusus (Panduan Pengendalian Umum TSI-BI 1995), diantaranya adalah :

1. Risiko pada tahap perencanaan dan pengembangan sistem

Risiko pada tahap perencanaan dan pengembangan sistem terjadi bila orang-orang yang menggunakan sistem dan mengerti prosedur pemakaian aplikasi tidak dilibatkan, sehingga pada saat aplikasi diimplementasikan terjadi kesalahan-kesalahan prosedur operasional yang telah ada. Kebutuhan-kebutuhan end user tidak terpenuhi akibat tidak diikutsertakan dalam tahap perencanaan pembuatan aplikasi.
Tahapan perencanaan tidak menggunakan standar perancangan sistem sehingga aliran informasi dan kebutuhan sistem tidak terpenuhi

2. Risiko kekeliruan pada tahap pengoperasian

Tidak adanya panduan pemakaian sistem (user manual system) dan tidak ada pesan kesalahan dalam pemakaian sistem, sehingga informasi akhir tidak sesuai dengan yang dibutuhkan

3. Risiko akses oleh pihak yang tidak berwenang

Pembatasan pemakaian sistem aplikasi setiap pemakaian sistem dan pencegahan akses bagi yang tidak berwenang

4. Risiko kerugian akibat terhentinya operasi TSI secara total atau sementara sehingga mengganggu kelancaran operasional bank.

Risiko ini terjadi bila salah satu bagian dari TSI tidak mendukung seperti hardware, software, sistem aplikasi, data dan sarana pendukung operasional mengalami gangguan. Misalkan kerusakan server sehingga sistem aplikasi perbankan tidak dapat digunakan

5. Risiko kehilangan / kerusakan data

Risiko kehilangan / kerusakan data yang berakibat bank tidak dapat beroperasi.

Transaksi Dengan Mata Uang Asing

A. Transaksi Perdagangan Luar Negeri

Praktek pembukuan transaksi dalam valuta asing dapat dilaksanakan dengan pendekatan dual currency atau multiple currency system. Sistem pertama langsung membuku transakasi dengan functional currency (dalam hal ini rupiah), sedangkan pada system kedua, transaksi valuta asing dicatat untuk setiap valuta. Translasi (konversi) satu mata uang ke mata uang yang lain ke perkiraan itu dapat menimbulkan selisih kurs valas.

Nilai tukar valuta, dalam pembukuan meliputi kurs transaksi (riil; yang terjadi pada saat berlangsungnya transaksi jual/beli, pembayaran atau penutupan kontrak) dan kurs neraca (kurs yang terjadi pada saat pembuatan neraca).

Untuk tujuan perpajakan, dalam mentranslasikan mata uang asing ke rupiah, wajib pajak dapat memilih antara kurs tetap (sesuai dengan kurs pada saat terjadinya transaksi) atau kurs menurut tanggal neraca. Dengan catatan metode itu dipakai secara konsisten.

B. Pembelian aktiva tetap

Pembayaran atas perolehan aktiva tetap (dari luar negeri) dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Untuk pembelian dengan kredit (jangka panjang) terdapat dua pendekatan pancatatan, yaitu single dan dual perspective method.

Pendekatan pertama menganggap perolehan aktiva tetap dan pembayarannya merupakan satu kesatuan transaksi yang tidak terpisahkan. Perubahan nilai tukar valas sampai dengan pembayaran (rampung) utang dipertimbangkan sebagai koreksi (adjustment) terhadap nilai perolehan aktiva. Koreksi perubahan nilai tukar terhadap harga perolehan aktiva dapat menimbulkan komplikasi pembukuan. Untuk mengeliminasikan komplikasi itu, pendekatan kedua memisahkan transaksi pembelian (aktiva) dengan pembayaran (utang).

C. Utang Piutang dengan Valuta Asing

Selain kurs tanggal neraca, untuk tujuan pajak, wajib pajak dapat melakukan pembukuan dengan kurs tetap (dengan pengakuan rugi-laba beda kurs pada saat pelunasan). Konsistensi merupakan persyaratan atas kedua teknik pembukuan itu. Namun, apabila untuk tujuan perpajakan dipakai metode nilai tukar tetap, dan dalam hal ini berbeda dengan praktek akuntansi komersial, praktek demikian juga diterima untuk tujuan perpajakan.

Untuk tujuan efisiensi dan kesederhanaan pelaksanaan pembukuan dan penghematan biaya serta tenaga, rasanya perusahaan akan lebih suka mencatat berdasarkan nilai tukar pada akhir tahun yang dapat dipakai sekaligus untuk tujuan ganda, yaitu praktek akuntansi komersial dan perpajakan.

D. Penggeseran Resiko Rugi Beda Kurs

Resiko moneter transaksi valas dapat berupa :
a. Depresiasi (penurunan nilai tukar secara berangsur)
b. Devaluasi rupiah (penurunan nilai tukar segera)

Dalam praktek perbankan, resiko itu dapat digeser kepada pihak lain (sistem hedging) dengan membayar premi kepada pihak lain. Hedging meliputi kontrak pembelian di muka valas (forward purchased) dan kontrak pertukaran (swap). Lima unsur yang terdapat dalam kontrak itu, yaitu :

a. Spot rate (nilai tukar riil pada tanggal penutupan dan jatuh tempo kontrak)
b. forward rate (nilai tukar yang harus dibayar pada tanggal jatuh tempo yang diperoleh dari spot rate tanggal penutupan kontrak ditambah premi)
c. Premi
d. Tenor (lamanya kontrak)
e. Jumlah valas yang akan dibeli.

Minggu, 22 November 2009

Harimau Sumatera dan Orangutan Batang Toru Terancam Punah

Laporan wartawan KOMPAS Khaerudin

MEDAN, KOMPAS.com - Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan orangutan (Pongo abelii ) yang mendiami kawasan Hutan Batang Toru di Sumatera Utara bisa punah dalam waktu dekat, jika Departemen Kehutanan tak segera menetapkan kawasan tersebut sebagai hutan lindung. Sebelumnya, tiga kabupaten, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara bersama Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sepakat mengajukan usulan perubahan status kawasan hutan Batang Toru menjadi hutan lindung.

Namun permintaan pemerintah daerah yang tertuang dalam usulan revisi Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44 Tahun 2005 tentang penunjukan kawasan hutan di Sumut, masih belum direspon Departemen Kehutanan. Dalam catatan kami ada 450 ekor orangutan yang mendiami hutan Batang Toru, sementara harimau tak ada catatan resminya. Tetapi satwa tersebut (harimau) dipastikan masih ada di sana. Kepunahan dua jenis satwa langka ini tinggal menunggu waktu, jika pemerintah tetap membiarkan hutan Batang Toru dirambah, ujar Asisten Direktur Divisi Pendidikan Yayasan Ekosistem Lestari
Tatang Yudha Komoro, Senin (12/10).

Tatang mengungkapkan, izin prinsip Departemen Kehutanan akan perubahan status hutan Batang Toru menjadi hutan lindung dinilai belum cukup. Satu sisi Departemen Kehutanan setuju kawasan ini dijadikan hutan lindung, tetapi di sisi lain Direktorat Jendral Penataan Kawasan Hutan malah memberikan RKU (rencana kerja usaha) PT Teluk Nauli yang memegang HPH di Batang Toru pada Maret 2008. Dengan RKU ini pemegang HPH bisa menerbitkan RKT (rencana kerja tahunan) dan RKL (rencana kerja lima tahun) untuk menebang kayu di Batang Toru, katanya.

Menurut Tatang, belum ditetapkannya Batang Toru sebagai hutan lindung membuat kawasan ini aman dari perambahan dan terbuka bagi eksploitasi oleh masyarakat. Kondisi ini yang menyebabkan, habitat harimau sumatera dan orangutan terus berkurang di Batang Toru. Padahal kawasan ini menjadi satu-satunya habitat harimau sumatera di Sumut, selain di Taman Nasional Batang Gadis (Mandailing Natal), katanya.

Tatang juga menuturkan, orangutan yang mendiami hutan Batang Toru juga diduga merupakan spesies yang berbeda dibanding hewan sejenis yang mendiami kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh dan sebagian Sumut). Orangutan Batang Toru sedikit lebih cerdas dibanding orangutan di TNGL. Orangutan di Batang Toru sudah menggunakan alat seperti kayu untuk mencari makanannya, kata Tatang yang bersama lembaganya memang mengkhususkan pada konservasi orangutan sumatera ini.

Selain mengancam keberadaan harimau sumatera dan orangutan, belum ditetapkannya Batang Toru sebagai hutan lindung juga mengancam daerah tangkapan air di blok barat kawasan tersebut. Tatang menjelaskan, blok barat kawasan hutan Batang Toru merupakan daerah tangkapan air untuk PLTA Sipan Sihaporas yang berkapasitas 60 megawatts.

PLTA ini dibangun dengan biaya sebesar Rp 2,4 triliun uang pinjaman dari Jepang. Debit air PLTA Sipan Sihaporas sangat tergantung pada keberadaan daerah tangkapan air di blok barat hutan Batang Toru. Padahal wilayah ini terus menerus mengalami ancaman perambahan, katanya.

Beberapa waktu lalu Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumut JB Siringoringo mengatakan, usulan revisi SK Menhut No.44/2005 tinggal menunggu presentasi Gubernur Sumut Syamsul Arifin di hadapan Menteri Kehutanan.

Bank Mandiri Bakal Terbitkan Obligasi Subordinasi

JAKARTA, KOMPAS.com - Bank Mandiri akan menerbitkan obligasi subordinasi rupiah sebanyak-banyaknya Rp 3 triliun pada akhir Triwulan IV 2009. Obligasi tersebut berjangka waktu tujuh tahun yang telah mendapat peringkat idAA+ (double A plus) dari Pefindo yang merupakan rating tertinggi untuk obligasi subordinasi.

Direktur Treasury & International Banking Bank Mandiri, Thomas Arifin dalam rilis yang diterima Persda, Minggu (8/11), mengatakan penerbitan obligasi subordinasi itu bertujuan untuk meningkatkan permodalan dan menambah struktur dana jangka panjang Bank Mandiri. Selain itu, juga kelak mampu memperkuat ekspansi kredit dalam rangka pengembangan usaha. Adapun melalui penerbitan obligasi tersebut Bank Mandiri juga akan lebih siap dalam menghadapi penerapan beberapa regulasi yang baru di tahun 2010.

"Bank Mandiri ingin mempertahankan momentum pertumbuhan secara berkelanjutan (sustainable growth), untuk itu kami berinisiatif meningkatkan permodalan sehingga ruang gerak bank menjadi lebih fleksibel dalam menangkap peluang bisnis di masa mendatang," kata Thomas.

Disebutkannya, Bank Mandiri telah menunjuk 4 (empat) underwriter untuk menangani penerbitan Subdebt yaitu, PT Mandiri Sekuritas, PT Bahana Securities, PT Danareksa Sekuritas, dan PT Trimegah Securities serta beberapa profesi penunjang lainnya.

Thomas mengatakan, obligasi tersebut memiliki tingkat kupon tetap dengan mengambil acuan FR0030 ditambah premium dengan kisaran 100 sampai dengan 225 basis poin. Dengan menurunnya tingkat bunga, khususnya tingkat bunga deposito saat ini yang diperkirakan masih akan terus menurun dalam waktu dekat, maka penerbitan obligasi ini akan menjadi opsi investasi yang menarik.

"Institusi yang kuat dengan kinerja keuangan yang terus membaik, keunggulan bersaing sebagai bank terbesar di Indonesia, serta imbal hasil yang kompetitif tentunya menjadi pertimbangan utama untuk berinvestasi pada penerbitan obligasi subordinasi ini", paparnya.

Sepanjang 2009 perkembangan perekonomian global dan nasional semakin membaik dimana tingkat suku bunga menunjukkan trend penurunan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat semakin stabil dan tingkat inflasi juga relatif terkendali. Seiring dengan membaiknya parameter makro ekonomi tersebut, industri perbankan nasional juga menunjukkan kondisi dan kinerja yang semakin menggembirakan.

Momentum perbaikan kondisi makro ekonomi tersebut menjadi landasan bagi Bank Mandiri untuk melanjutkan program transformasi dalam mencapai visinya menjadi Dominant Multispecialist Bank. Dengan program transformasi tersebut Bank Mandiri berhasil meningkatkan kinerja keuangan, pelayanan dan Good Corporate Government secara signifikan. Asset tumbuh dari Rp 318,7 triliun pada triwulan ketiga 2008 menjadi Rp 366,5 triliun pada triwulan ketiga 2009.

Bambang Setiawan, Direktur Corporate Secretary, Legal & Customer Care menambahkan, bahwa peningkatan tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan kredit sebesar 15,7 persen sampai dengan September 2009 (year on year) menjadi Rp 188,3 triliun dengan rasio NPL gross 3,8 persen dan nett 0,85 persen.

Sementara itu, penghimpunan dana murah seperti Giro dan Tabungan Rp 143,8 mencapai Rp 169,1 triliun atau tumbuh 17,6 persen . Cost Efficiency Ratio membaik dari 42,8 persen menjadi sebesar 39,0 persen . Sedangkan laba bersih yang berhasil diraih sampai dengan September 2009 mencapai Rp 4,62 triliun, atau tumbuh 16,8 persen dari pencapaian periode yang sama pada 2008 yang tercatat sebesar Rp 3,95 triliun. Rasio kecukupan modal Bank Mandiri pada September 2009 tercatat di level 14,2 persen jauh di atas ketentuan minimum yang ditetapkan Bank Indonesia sebesar 8 persen .

sumber : www.kompas.com

Indonesian Economic Growth Ticks Up As Confidence Increases

After three consecutive quarters of slowing growth, Indonesia’s economy started to improve in the third quarter, growing 4.21 percent compared with the same period last year.

However, with the agriculture and manufacturing sectors still growing more slowly than other sectors, the outlook for the employment market remained gloomy, the Central Statistics Agency (BPS) said on Tuesday.

The economy expanded 3.87 percent in the third quarter from the previous three months to June 30.

The year-on-year GDP growth was in line with economists’ predictions and the government’s projection for the quarter of 4.1 percent to 4.3 percent.

The economy started to slow in the fourth quarter of last year because of the impact of the global financial crisis, after enjoying steady growth of more than 6 percent throughout 2008.

It continued to slow to 4.45 percent in first quarter of 2009 and to 4.05 percent in the second quarter of this year.

“In the third quarter, our economy has started to pick up. This is a sign of recovery from the global financial crisis,” said BPS deputy chairman Slamet Sutomo.

He said the upward trend was in line with improving business confidence.

“Businesses experienced an increase in their revenues in the third quarter, while consumers have experienced rising incomes and lower inflation, which boosted their consumption,” Slamet said.

Enrico Tanuwidjaja, an economist from the OCBC Bank in Singapore, said Indonesia was helped by its high level of domestic demand, and to some extent, the government’s fiscal stimulus package.

“The recent fiscal stimulus package seemed to have had a significant impact on consumption. While the outlook for the manufacturing sector and exports still hinge significantly on a global recovery, the local economy remains strong on the back of steady private consumption and a broad domestic market.”

BPS reported that government spending rose by 10.2 percent year on year in the third quarter of 2009, household consumption was up by 4.7 percent, and investment spending by 4 percent.

Slamet said private consumption contributed 63 percent of the nation’s gross domestic product in the third quarter.

“In the third quarter there are school vacations, the start of new academic year, Ramadan and Idul Fitri, which contributed greatly to private consumption,” he said.

The non-tradable, or services sector, continued to outperform more traditional sectors such as agriculture, mining and manufacturing, Slamet said.

“We would prefer the tradable sector to grow faster than the non-tradable one, since it has traditionally provided more jobs. But since early 2000, the services sector, especially communications, has been outpacing it,” he said.

Ikhsan Modjo, director of the Institute for Development of Economics and Finance, said the service sector’s contribution to the global economy was increasing.

“This is not unique to Indonesia. However, this means job creation in the future could be harder,” he said.

“Job creation would also be crucial in the coming few months, to ensure that some momentum would be sustained in domestic demand,” said Gundy Cahyadi, an economist from IDEAGlobal in Singapore.

According to the latest BPS employment figures, issued in August, Indonesia has 9 million people unemployed out of at total of 113 million workers, or an unemployment rate of 8.14 percent.

However, if the numbers of only partially employed people are also taken into account, the figure could double, according to analysts.

Seven percent annual national growth has been cited as the figure the nation needs to reach to soak up all the new workers entering the economy every year.

Looking forward, Enrico said Indonesia’s economy would continue to grow this year.

“Going forward, the better than expected Q3 GDP growth figure is likely to ascertain the solid fundamentals of the country in weathering the current financial storm,” he said.

He added that he expected 4.5 percent GDP growth in the fourth quarter.

source : Dion Bisara, www.thejakartaglobe.com

Sabtu, 14 November 2009

Traditional Indonesian Dance Calls Angel to Earth

Arriving at Lara Djonggrang restaurant in Menteng, Central Jakarta, on the evening of Halloween, I was surprised to see a traditional market occupying the courtyard.

Illuminated with torches and oil lamps, open bamboo huts showcased traditional delicacies from Cirebon, West Java, such as tahu gejrot (crisp-fried tofu bathed in a thin, dark sauce flavored with green chili and shallots), empal gentong (tender beef in creamy turmeric and coconut soup) and nasi lengko (steamed rice served with marinated tofu, soybean cake and vegetables).

Hawkers dressed in traditional clothes shouted out the names of their offerings to passersby. Guests — Indonesians and expatriates alike — sat together chatting at long wooden tables. The atmosphere made me think of the Kasepuhan night market in Cirebon.

“We want to bring the history and culture of Indonesia back to life by showcasing local culinary delights and almost-forgotten traditional cultures,” said Annette Anhar, the general manager of Lara Djonggrang.

To this end, once a month the restaurant presents a cultural night featuring traditional dishes and a dance performance from a different region of the country.

On the evening of Oct. 31, the focus was on Cirebon and the performance was “Tari Turun Sintren” (“Dance of the Descending Angel”), a mystical show traditionally danced by a beautiful young virgin in a trance.

Cirebon, a quiet town on the northern coast of West Java, has a unique history and traditions. A sultanate, it was founded by Sunan Gunung Jati, a 16th century Muslim religious leader. It later became an important port town during the Dutch colonial era. Although the people of Cirebon are generally devout Muslims, most still maintain ancient Javanese traditions and mystical beliefs.

“Tari Turun Sintren” originated from a traditional game among Cirebonese fishermen and is considered both sacred and magical. In the old days, fishermen’s wives and children played the game on the beach at night as they waited for their husbands and fathers to return from the sea.

“The performance is directed by a pawang sintren [a shaman who prepares and oversees the entire dance performance]” said Eddy Bagja, a representative of the Cirebon tourism office.

It’s not easy to qualify to be a Turun Sintren dancer. “Prior to the performance, the dancer has to be ‘redeemed,’” said Mang Tarman, the shaman.

This means the dancer has to conduct mutih , which involves consuming nothing but rice and water for seven consecutive days. Upon completion of the mutih, just before the dance, the girl must take a bath with seven kinds of flowers in the water to sanctify her body for spiritual possession.

To this day the dance is performed during major traditional celebrations in Cirebon, such as Nadran, a festival of the sea.

Interviewed prior to the Halloween performance, the 18-year-old dancer, Nita, confessed to being nervous, as well as excited. “I just want to get it over with,” she said.

Nita has been dancing the “Turun Sintren” since she was 14 years old. “I want to perpetuate this unique tradition,” she said. “I hope people will learn to appreciate our cultural heritage.”

The props for the show include copper jugs of various sizes, a hollow bamboo gong, a floor mat and a chicken cage with a yellow velvet covering. The show also features four female vocalists who sing traditional songs to summon a spirit to descend upon the young dancer.

Hajjah Nani Kusnaeni, the leader of the Sintren Sinar Bahari group performing at the restaurant, said the dance represented Indonesia’s struggle for independence.

“During the colonial era, the people of Cirebon protested against the colonial occupation by staging this show,” she said. The dance boosted their courage, as well as symbolized their undying hope for freedom.

At Lara Djonggrang, the performance was staged in the parking lot of the restaurant, just below a two-century-old banyan tree decorated with ribbons made from young coconut leaves. A huge gapura (traditional Javanese teak gate) with a long piece of Cirebonese batik featuring a pattern of paksi naga liman (mythical creatures that combine an eagle, a dragon and an elephant) served as the backdrop to the stage.

At the start of the show, the bamboo mat was set in the center of the stage with the chicken cage sitting on top of it. Male musicians began beating the jugs and bamboo instruments rhythmically. The singers began a haunting, repetitive melody in Cirebonese.

During the song, the shaman, carrying an earthen bowl containing burning incense, blew smoke in all directions.

“He is asking for anyone who might possess similar powers not to disturb our performance,” Nani said.

Dressed in a batik blouse, Nita, the dancer, stood between the shaman and the chicken cage. The shaman covered her body, from neck to ankles, with plastic ropes. He then blew smoke from the incense into her face. Nita immediately fainted.

Two hundred guests fell silent as they watched her limp body being swathed in a white shroud, like the dead. The singing grew louder and more persistent, as the white shroud suddenly became empty. The singing continued, with lyrics that translated into English as: “Please come down, dancer. The dancer is actually an angel. She then finds a flower, let’s swing her around.”

“They are singing to summon an angel from the heavens to come down and set her free,” Nani said.

It was a hot, balmy evening, but a cold shiver went down my spine.

Two men lifted the chicken cage. Inside was Nita, made up and dressed in a red satin blouse with a Cirebonese batik sarong, looking austere behind a pair of black sunglasses.

“The angel has descended,” Nani said. “Nita is being possessed.” As the vocalists sang a new tune, Nita slowly rose and danced to the rhythm with her head slightly bowed, as if she were blind. The MC encouraged guests to toss coins at the dancer.

“When her body is hit by a coin, she will faint. And the shaman will revive her again by blowing the smoke of the incense into her face,” said Meggy, the master of ceremonies. A man rose to toss a coin at her. True enough, when the coin touched her body, Nita fainted. Her limp body slumped against a male performer who was watching over her from behind. The shaman put the bowl of incense in front of her nostrils and blew. Smelling the incense, Nita stood up and danced once again to the cheers of the audience.

Indonesian fashion designer Ghea Panggabean, who was in the audience, came forward and danced alongside Nita before throwing a bunch of coins toward her. Again, Nita fainted and had to be revived by the shaman.

“Guests throw coins to express their happiness,” Nani said.

Songs urging the dancer to wake up marked the end of the performance. Nita slowly knelt and the chicken cage, once again, was brought down to cover her body. The shaman recited prayers over the cage. The air was thick with suspense as the audience awaited the culmination of the performance.

As the shaman lifted his hands the chicken cage was hoisted up. Inside, Nita, drenched in sweat and once again dressed in her batik blouse, without any makeup, sat still with her eyes closed. Her small hands were clutching a kris (traditional dagger) adorned with a garland of jasmine.

“The kris in her hands symbolizes the return of power and sovereignty,” Nani said.

The shaman circled Nita’s head with the incense bowl, murmuring prayers. Nita opened her eyes, smiled, stood up and bowed. The audience broke into applause.

Ghea, originally from West Java herself, was happy with the dance. “It is very interesting to watch a traditional show in a place that makes us feel transported to Cirebon. The dance itself is very magical and I’m actually a bit scared.”

The performance also renewed her appreciated for the culture of Cirebon. “The costumes are very pretty and colorful. They have inspired me to design new dresses using vibrant Cirebonese batik,” she said.

Sylviana Hamdani

http://thejakartaglobe.com/lifeandtimes/traditional-indonesian-dance-calls-angel-to-earth/340065

Jumat, 13 November 2009

Yang Miskin yang Berkorban

Rabu, 11 November 2009 | 05:12 WIB




AP PHOTO/MOHAMMED SEENEEN
Presiden Maladewa Mohamed Nasheed menandatangani dokumen yang isinya mendesak semua negara untuk mengurangi emisinya menjelang Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) pada Konferensi Perubahan Iklim PBB, bulan Desember di Kopenhagen, dengan menyelam 6 meter di bawah permukaan laut di Pantai Girifushi, Maladewa, Sabtu (17/10). Para menteri dengan peralatan selam melakukan rapat kabinet untuk menunjukkan kepada dunia ancaman tenggelam yang dihadapi Maladewa akibat naiknya permukaan muka laut sebagai salah satu dampak perubahan iklim.


KOMPAS.com - Tinggal 26 hari lagi dunia akan menyaksikan ”drama” yang akan dikenang oleh umat manusia, setidaknya pada empat dekade mendatang. Drama itu bertema perubahan iklim dengan setting kota Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009.
Skenario awal sudah dituliskan pada lebih dari 1.500 lembar kertas yang berisi berbagai butir kesepakatan yang diharapkan bisa disepakati semua parties (baca: negara) dari Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Lebih dari 90 negara akan berkumpul di Kopenhagen berharap mendapatkan jawaban tentang apa yang akan dilakukan secara bersama untuk menghadapi tantangan perubahan iklim.
Persoalannya, negara kaya yang tergabung dalam kelompok Annex 1 malah mulai bergeser mundur, meminta agar kesepakatan yang dibuat bersifat tidak mengikat.
Negara-negara Annex 1 termasuk negara dengan ekonomi dalam transisi dari laporan tentang emisi gas rumah kaca (GRK) yang teranyar tahun ini—jika dihitung dengan memasukkan penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan deforestasi—ternyata pengurangan emisi agregat dibanding tahun 1990 mencapai 5,2 per sen dari 17.459,6 Triliun gram CO2 ekuivalen menjadi 16.547,1 Tg CO2 ekuivalen (UNFCCC, 2009).
Sementara itu, negara-negara Annex 1 nonnegara dengan transisi ekonomi, yang pada Protokol Kyoto 1997 dikenai kewajiban untuk mengurangi emisi karbonnya ternyata total emisi agregat termasuk penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan deforestasi (LULUCF) meningkat 11,2 persen pada kurun 1990-2007, sementara jika faktor LULUCF dimasukkan, emisinya naik 12,8 persen.
Kesulitan mengurangi emisi tersebut mendorong berbagai negara untuk memperkenalkan berbagai skema yang kemudian berujung pada perdagangan karbon yang ternyata oleh sejumlah negara ditolak.
Senat Amerika Serikat telah meloloskan undang-undang mengenai perubahan iklim—dengan undang-undang itu AS akan mengurangi emisi karbonnya hingga 20 persen dengan basis tahun 1990 pada tahun 2020.
Tegangan kaya-miskin
Dalam hiruk-pikuk perundingan bersama untuk mengatasi persoalan perubahan iklim, tegangan kaya-miskin semakin hari semakin meruncing.
Para perunding dan diplomat yang bertemu di Barcelona, Spanyol, ternyata belum mendapatkan kesepakatan baru. Bahkan terjadi gap yang semakin lebar antara negara miskin dan kaya.
”Pekerjaan ini tidak selesai, jauh dari harapan,” ujar negosiator dari Sudan, Lumumba Stanislaus Di-Aping, Ketua Group 77 dan China yang mewakili negara-negara miskin.
Bahkan sejumlah negara telah mengatakan tidak bersedia menandatangani kesepakatan yang mengikat—seperti Protokol Kyoto yang mewajibkan negara-negara Annex 1 mengurangi emisinya. Sebaliknya mereka justru mendorong adanya kesepakatan politis untuk mengurangi emisi karbon.
”Semua negara anggota G-77 dan China juga Afrika sudah berseru meminta negara maju mengurangi emisi, tetapi mereka menolak. Mereka bahkan meminta kami mengulur waktu sampai enam bulan,” tambah Di-Aping seperti dikutip Reuters. Adapun Amerika Serikat juga dikritik karena tidak menawarkan angka penurunan emisi secara tegas.
Padahal, semula Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) pada Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen tersebut dijadikan batas waktu adanya kesepakatan baru pengganti Protokol Kyoto. Pada perundingan di Barcelona, delegasi negara-negara Afrika sampai-sampai melakukan walk-out dan memboikot pertemuan.
”Ini fase sulit. Saya rasa semua pihak harus memainkan lagi perannya untuk dapat membuat kesepakatan mengikat yang kuat di Kopenhagen nanti. Itu butuh sekitar 12 bulan,” ujar Bill Hare, seorang ilmuwan dari Potsdam Institute, Jerman.
Delegasi RI melalui beberapa pendekatan bilateral mengeluarkan gagasan agar Kopenhagen menyepakati ”kesepakatan payung” berisi tujuan global jangka panjang, proses, hingga disepakati perjanjian internasional baru sebelum Juni 2010.
Kegeraman tak terucapkan telah mendorong Maladewa melakukan ”protes” dengan melakukan rapat kabinet di bawah air pada 17 Oktober lalu. Kabinet pemerintahan Presiden Maladewa Mohamed Nasheed menyerukan negara kaya mengurangi emisi karbonnya dengan serius. Maladewa merupakan salah satu negara pulau kecil yang terancam tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.
Untuk menggedor nurani penguasa negara kaya, Maladewa juga mencanangkan sebagai negara dengan pembangkit listrik tenaga angin senilai 200 juta dollar AS dan menjadi ”negeri pulau kecil dengan karbon netral pada 2020”.
Tak kalah dengan Maladewa, Indonesia yang dinilai gambutnya adalah emiter terbesar di Asia, akibat keinginan besar untuk mendorong negara maju telah berani mengajukan angka 41 persen pengurangan emisi karbon tanpa berpikir panjang betapa pengurangan emisi sebanyak itu akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Maladewa dan Indonesia adalah negara-negara miskin dan berkembang yang prihatin akan kondisi stagnan perundingan. Kondisi yang akan menjerumuskan nasib umat manusia empat dekade mendatang. Inilah drama tragisnya: yang miskinlah rupanya yang rela berkorban sambil menunggu hal yang tak pasti: si kaya mungkin akan rela juga berkorban. (BRIGITTA ISWORO)

Who Pays for the Victims of Terror?

July 17 started out as a typical workday for Max Boon, a 33-year-old Dutchman, as he was attending a breakfast meeting for his company, CastleAsia, at the JW Marriott hotel in Jakarta.

Then a neatly dressed man walked into the Marriott’s lobby lounge, where the CastleAsia meeting was under way, and detonated a suicide bomb. Almost simultaneously another bomb exploded across the street at the Ritz-Carlton Hotel. Nine people died in the attacks and scores were injured.

Boon’s life was changed forever. With a degree in Indonesian studies from the Netherlands, after six years in Jakarta he was planning to make a lifelong commitment to working here. Instead he was critically injured and soon became a symbol of the deadly attacks carried out by a splinter group of the radical Jemaah Islamiyah.

“He always wanted to go to Indonesia since he was in high school, it was Max’s life goal,” said Charles Huijkins, a spokesman for the Boon family.

But what happened to Boon after the blasts remains a cause for debate. It has evoked bitterness among his friends and associates. It has also highlighted a little-known fact buried in the fine print of international health insurance policies: many policies don’t cover acts of terrorism, leaving survivors financially vulnerable.

Who Pays?
Given the number of terror attacks worldwide, many targeting foreign nationals, who should ultimately be responsible — governments, insurance companies, hospitals or victims — for paying the medical bills if health policies don’t cover terrorism? In the case of Boon, the Dutch government stepped in, but only after unflattering publicity turned the case into a public issue.

“Risks that are worth being insured should be on predictable conditions or situations, while terrorism falls in the category of disaster,” said Rosa CH Ginting, president director of InHealth Insurance Indonesia, one of the country’s largest insurance providers. “And, as such, the risk is incalculable. That’s why most insurance companies don’t cover acts of terrorism.”

Boon was rushed to MMC Hospital near the Marriott after the blasts for emergency surgery. On July 19, he was evacuated to the National University Hospital in Singapore with shrapnel wounds, severe burns, serious leg injuries, damage to one of his lungs and a broken right arm. Incredibly, Boon survived, but he will spend the rest of his life in a wheelchair as he has lost both legs below the knee.

“At the beginning, we thought he wouldn’t make it. He was in very critical condition in Jakarta, but the quick evacuation to Singapore saved his life,” Huijkins told the Jakarta Globe.

On Sept. 4, Boon was stable enough to be transferred to the Netherlands. Doctors at the University of Utrecht Medical Center, located near where Boon’s family lives, are still waiting for an opportune time to remove shrapnel lodged in his heart muscles.

For weeks, Boon and his family were in limbo about who would pay for Boon’s medical treatment in Singapore, which by the time he was transferred out had reached well over $100,000. This was primarily due to the fact that the Dutch government didn’t step in with a financial guarantee that Boon’s hospital bills would eventually be paid.

“The first few days were so chaotic because there was no guarantee on who would pick up the bill in Singapore,” Huijkins said.

The process of evacuating Boon from MMC Hospital to Singapore was also anything but smooth. Boon’s health insurance provider, Pacific Cross of Hong Kong, only covers a maximum of $100,000 for emergency treatment, but fortuitously that includes injuries suffered in an act of terrorism.

However, the evacuation costs alone to Singapore were about $30,000, and immediately upon his arrival, Boon underwent a second emergency surgery at National University Hospital. Within days, his hospital bills had surpassed his insurance coverage.

As the days passed and the bills mounted, so did questions about who would pay, not to mention the 24-hour care that would be required over the coming months, or years. CastleAsia, Boon’s employer, even sought private donations to cover his medical bills when it was unclear whether the Dutch government would be the final guarantor of payment.

Does Your Country Cover You?
Dutch newspapers and television stations quickly jumped on the story, reporting that Boon’s family couldn’t afford the medical bills, his insurance was exhausted and the Dutch government was making no commitments.

Public outrage soon followed, after which the Dutch Foreign Ministry informed Boon’s family that they would issue a guarantee for the bills at National University Hospital. Gonneke de Ridder, a spokeswoman at the Dutch Embassy in Jakarta, said she couldn’t release information about Boon’s case because of privacy rules.

So how do other countries respond when their citizens are injured in terror attacks?

After the July 17 bombings, the Indonesian government paid for the medical treatment of its citizens and offered to cover foreign nationals if they were treated in Indonesia.

However, badly injured foreigners opted to be evacuated to Singapore, which is known for its health care. In doing so they became responsible for their own medical bills.

“Citizens of one country, including Americans, who are present in another country, such as Indonesia, are under the laws, authority and benefits of that other country,” said Stafford A Ward, a spokesman with the United States Embassy in Jakarta.

The US Embassy, he said, will send staff to hospitals to check on the well-being of American citizens and help them to contact family members.

However, Ward said, the US government won’t pay medical bills or act as a guarantor for payment. “We monitor their condition if they are injured, but their medical care is a responsibility belonging to themselves, their employers or local sponsors and local authorities, not the US government,” he said.

Australian citizens are in the same boat. Their government doesn’t cover their medical bills overseas, even for injuries suffered in a terrorist attack.

“We encourage all Australian citizens to take out full travel insurance while they travel overseas,” said Michael Kachel, a spokesman at the Australian Embassy in Jakarta.

A total of 95 Australians have been killed in terrorist attacks in Indonesia since October 2002. This includes the 88 killed in the 2002 Bali bombings, four in the 2005 Bali bombings and three in the July 17 attacks.

What if the Worst Happens?
So what happens to foreign nationals if they don’t have insurance, or enough insurance, and are injured in a terrorist attack or other disaster? Will their governments help them out?

Don’t be too hopeful. The United States, like many other countries, doesn’t have dedicated funds for such contingencies and its embassy will only facilitate communications with family and friends.

“If the American is destitute we contact relatives, friends, others for a loan. If, after an investigation, no private loan is available, in dire emergencies we can ask Washington for a limited loan to repatriate an American,” Jeffrey S Tunis, the consul general for the US Embassy in Jakarta, said in an e-mail message.

Ginting of InHealth Insurance said governments should have a reserve fund for special situations, such as Boon’s.

“I think ideally, on occasions like that, a state or government should bear their citizens’ medical coverage,” she said.

That said, American Embassy staff were quickly deployed to the bombing sites on July 17 to help any US citizens in distress.

Among those they assisted, ironically, was Erik Stern, a 38-year-old Briton, who works as a management consultant in Jakarta. He had just finished breakfast at the Airlangga restaurant inside the Ritz-Carlton when a bomb ripped the place apart.

Stern was lucky enough to only suffer minor wounds. After staggering into an open field near the hotel, he said that staff members from the British Embassy were nowhere to be found.

“They simply didn’t exist, I didn’t see anyone from the embassy. I couldn’t imagine what would have happened if I were badly hurt,” he told the Globe. “Embassies should be there on this kind of occasion.”

Stern, who also holds a US passport, said he was amazed by the help offered by the American Embassy.

“Their representatives were around, offering help, checking if anyone was an American citizen,” he said. “In this kind of situation, we learn how things work. Embassies should be there to help their taxpayers.”

The British Embassy in Jakarta didn’t respond to requests for information.

Although the policies of each country may differ, the fact remains that foreign nationals can find themselves in major financial distress if they’re injured in a terrorist attack or a natural disaster in a distant land. In Boon’s case, the Dutch government did eventually issue a guarantee for his medical treatment in Singapore, but that does not mean other citizens would get the same treatment.

“It took diplomatic skills at first to finally have the minister of foreign affairs issue the guarantee letter,” Huijkins said.

“In the end, it was a diplomatic decision,” he said, playing down the Dutch government’s initial reluctance. “The process isn’t that important anymore to us.”

Nonetheless, some bitterness remains in the expatriate community here.

“I think it’s outrageous. I assumed a government of a civilized country would help their taxpayers,” said one foreign insurance expert based in Jakarta, who asked not to be named.

Boon and his family eventually received some good news after his arrival home in early September, Huijkins said. Boon was registered by a private Dutch insurance company, so his future medical and rehabilitation costs will be fully covered.

Although he is permanently disabled, Boon plans a return visit to Indonesia one day, a country he still loves, Huijkins said.


source : http://thejakartaglobe.com/home/who-pays-for-the-victims-of-terror/340147

Terry Fox, Anak Muda Pembangkit Semangat



Terry Fox adalah mahasiswa kelahiran Winnipeg, Manitoba-Kanada, 28 Juli 1958. Meski cita-citanya terkubur oleh kanker tulang, ia gigih menghimpun dana bagi penelitian kanker melalui lari maraton yang disebutnya maraton pengharapan (Marathon of Hope)

Kehadiran sebuah patung di Kampus Universitas Simon Fraser itu seolah tak henti memompakan semangat pantang putus asa dalam berusaha kepada kaum muda. Itulah patung Terry Fox, dengan kaki kanan palsu dan diresmikan September 2001.
Siapakah Terry Fox? Ia bukan politikus. Bukan pula penguasa, dan bukan pejabat penting suatu negara.
Terry Fox adalah seorang mahasiswa kelahiran Winnipeg, Manitoba-Kanada, 28 Juli 1958, yang terpaksa mengubur cita-citanya karena menderita kanker tulang. Meski demikian, ia gigih menghimpun dana untuk penelitian kanker melalui lari maraton yang disebutnya maraton pengharapan (Marathon of Hope). Upaya Terry Fox ternyata mengundang perhatian dunia.
Vonis Kanker
Seperti anak muda lain, Terry Fox sejak muda amat menyukai olahraga basket. Kesukaannya itu diteruskan ketika diterima sebagai mahasiswa tahun pertama jurusan kinesiologi di Universitas Simon Fraser di Vancouver, Kanada. Di universitas itu, ia juga diterima sebagai anggota tim bola basket.
Namun, kesukaan bermain basket ini tidak bisa dipertahankan karena ia sering merasakan kesakitan yang amat sangat pada kaki kanannya. Dari pemeriksaan dokter diketahui, Terry yang baru berumur 18 tahun itu mengidap kanker tulang. Akibatnya, kaki kanan Terry harus diamputasi sekitar enam inci (sekitar 15 cm) di atas lutut. Pada saat itu, dunia kedokteran belum menemukan cara lain untuk pengobatan kanker, selain diamputasi. Saat diamputasi, Terry sempat kehilangan semangat hidup.
Beruntung, keluarga tak henti memberi semangat untuk hidup. Selain itu, Terry menyadari betapa dukungan masyarakat umum untuk penelitian kanker masih kurang. Dari permenungan itulah, Terry mendapatkan ide untuk melakukan aktivitas maraton pengharapan dengan melintasi Kanada sejauh 5.000 mil.
Meski sempat ditentang banyak orang, termasuk ibunya—Betty Fox—Terry tetap mewujudkan keinginannya. Marathon of Hope pun dimulai pada 12 April 1980 dari St John, Newfoundland.
Dengan menggunakan kaki kanan palsu, Terry Fox berlari tertatih-tatih melintasi jalan-jalan di Kanada. Meski semula banyak orang tak menghiraukan aktivitas Terry, lama-kelamaan perjuangan ini menarik perhatian. Bagai gelombang, antusiasme masyarakat makin lama makin besar.
Meski Terry pantang menyerah, penyakit kanker agaknya lebih cepat dan lebih ganas menyerang. Tanggal 1 September 1980 adalah hari ke-143 Terry melakukan Marathon of Hope. Perjalanan pun sudah ditempuh sejauh 5.373 km dan Terry sudah mencapai Thunder Bay, Ontario.
Saat itu Terry merasakan dadanya amat sakit. Ia lalu dilarikan ke rumah sakit. Ternyata kanker sudah menyerang paru- paru. Dokter meminta Terry menghentikan aktivitasnya. Keinginan Terry untuk melintasi Kanada sejauh 5.000 mil dan ingin merendam kaki palsu di Lautan Atlantik pun sirna. Pada tanggal 28 Juni 1981, Terry Fox meninggal pada usia 22 tahun.
Menjadi Teladan
Kini, kegigihan, semangat, dan keberanian Terry tidak hanya dikenang, tetapi juga dijadikan teladan bagi kaum muda dan bangsa Kanada. Untuk mengenang Terry, dibentuk yayasan Terry Fox Foundation. Berbagai aktivitas yayasan ini dimaksudkan untuk mengumpulkan dana guna penggalakan penelitian penyakit kanker.
Menjelang olimpiade musim dingin tahun 2010, Pemerintah Kanada juga ”menggunakan” Terry Fox sebagai ”maskot” untuk memompa semangat, kegigihan berjuang, dan keberanian para atlet dalam menghadapi tantangan.
Masyarakat Kanada tak akan pernah melupakan kegigihan Terry Fox. Tak hanya itu, kebulatan tekad, rasa kemanusiaan, dan tak mementingkan diri telah menjadi inspirasi bagi jutaan masyarakat di dunia, tak terkecuali di Indonesia.
Pada November 2004, masyarakat Kanada telah memilih Terry Fox sebagai pahlawan besar abad ke-20. Setiap bulan September, Terry Fox selalu dirayakan dan dikenang secara internasional. Penghargaan besar ini ikut memompa semangat anak-anak muda, terutama mahasiswa Universitas Simon Fraser yang sedang menempuh studi. (TON)




Sumber : Kompas Cetak
http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/04/29/0935501/terry.fox.anak.muda.pembangkit.semangat