Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Tampilkan postingan dengan label riset akuntansi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label riset akuntansi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 16 Maret 2010

Potensi Kerugian Negara

Ditjen Bea Cukai Selamatkan Rp 1,026 Triliun
Senin, 15 Maret 2010 | 13:24 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak tahun 2007 , Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) kantor wilayah Jakarta berhasil menyelamatkan potensi kerugian negara sebesar Rp 1,026 triliun dari penindakan terhadap berbagai pelanggaran.

Demikian disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, di sela-sela acara pemusnahan 65.000 botol minuman mengandung etil alkohol (MMEA) impor dengan pita cuka ilegal, di di Jakarta Auction Center, Kemayoran, Senin ( 15/3/2010 ).
Dia merinci, penindakan yang telah dilakukan DJBC, diantaranya terhadap peredaran Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) dengan menggagalkan jaringan peredaran pita cukai palsu dan menangkap pelakunya, menggagalkan peredaran MMEA yang tidak dilengkapi pita cukai, serta menggagalkan peredaran MMEA yang dilekati pita cukai palsu.

"Kerugian negara yang berhasil diselamatkan dari itu semua kurang lebih Rp 525 miliar," ujar Menkeu.

Selain itu, DJBC Kantor Wilayah Jakarta juga melakukan penindakan terhadap Rokok diantaranya dengan menggagalkan jaringan pita cukai rokok palsu dan menangkap pelakunya, dengan kerugian negara yang berhasil diselamatkan sekira Rp 500 miliar.
Kemudian, penindakan terhadap narkotika dan bahan-bahan psikotropika diantaranya dengan menggagalkan penyelundupan bahan-bahan untuk pembuatan ekstasi antara lain 12.85 kilogram ketamine dan 12 kilogram Pseudo ephedrin yang akan diselundupkan melalui Kantor Pos Pasar Baru serta mengagalkan penyelundupan hasish atau marijuana dari Amerika Serikat melalui bandara Halim Perdana Kusuma, ditangkap 3 orang tersangka WNI dan warga negara Amerika Serikat. Selain itu, penindakan terhadap penyalahgunaan fasilitas kawasan berikat (pemalsuan dokumen).

"Dari 11 kasus penindakan, 8 kasus ditindaklanjuti dengan audit dan pelimpahan ke KPPBC terkait, dan 3 kasus dilakukan penyidikan dan telah mendapat vonis pengadilan. Kerugian negara yang berhasil diselamatkan sekira Rp 1 miliar," tandasnya.

Kredit Perkebunan Kelapa Sawit Bank Mandiri Naik 24 Persen

Jumat, 12 Maret 2010 16:58 WIB Penulis : Asep Toha
JAKARTA--MI: PT Bank Mandiri Tbk membukukan outstanding kredit sektor perkebunan kelapa sawit hingga Rp23,6 triliun di 2009. Angka ini meningkat 24% dibandingkan periode sama tahun 2008 dengan porsi Rp15,6 triliun di kebun, industri pendukung Rp7,9 triliun, dan perdagangan Rp900 miliar.

Hal ini diungkap Senior Vice President Corporate Banking Agro Based Bank Mandiri Sunarso melalui siaran persnya, Jumat (12/3). Menurutnya, Bank Mandiri membuktikan komitmen mendorong pengembangan industri kelapa sawit nasional yang berwawasan lingkungan. Hal ini dilakukan melalui pemantauan yang ketat terhadap penerapan bisnis yang ramah lingkungan dan berkelanjutan sebelum memberikan fasilitas pembiayaan.

"Sebelum memberikan fasilitas pembiayaan, terdapat Industry Acceptance Criteria perusahaan perkebunan kelapa sawit. Setiap perusahaan yang akan dibiayai Bank Mandiri harus mematuhi setiap peraturan pemerintah terkait lingkungan," jelas Sunarso.

Selanjutnya, Sunarso mengatakan bank akan melihat salah satu kualifikasi yang diterapkan oleh perusahaan tentang analisa dampak lingkungan. Selain itu, aspek pengelolaan lingkungan di internal perusahaan untuk penetapan rating yang menjadi acuan tingkat pricing atau suku bunga dan besarnya pembiayaan.

Sektor perkebunan kelapa sawit dan industri turunannya sangat potensial untuk terus tumbuh. Soalnya, kelapa sawit memiliki kelebihan dibanding komoditas minyak nabati sejenis seperti soyabean, rapeseed, dan minyak canola. Hal ini disebabkan jumlah produksi dalam satu tahun pada setiap hektar lahan lebih banyak.

"Selain itu, fungsi pengganti bahan bakar minyak bumi menjadikannya faktor pertimbangan industri kelapa sawit akan terus tumbuh. Terlebih, saat ini Indonesia telah menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan produksi mencapai 20 juta ton per tahun dan luasan areal mencapai 7 juta hektare," tutur Sunarso.

Selain komitmen pada korporasi di sektor kelapa sawit, Sunarso mengatakan Bank Mandiri mengincar sektor UMKM perkebunan di segmen ritel. Melalui mekanisme korporasi sebagai avalis pembiayaan petani. Bank Mandiri aktif menyalurkan pembiayaan melalui berbagai program termasuk program dari pemerintah seperti Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), serta mendukung perkebunan plasma. (Toh/OL-04)

Melipat Rupiah dari Modifikasi Sepeda

KOMPAS.com — Tak mau kalah dengan kendaraan bermesin macam mobil dan sepeda motor, sepeda kayuh pun tak luput dari tren modifikasi. Sepeda hasil modifikasi alias sepeda custom jenis low rider adalah sepeda yang sangat digemari. Maka dari itu, kini bermunculan bengkel kreasi sepeda bersadel rendah tersebut.

Meskipun ada pabrikan besar yang memproduksi aneka bentuk sepeda, bisnis modifikasi tak pernah mati. Maklum, karena diproduksi massal, sepeda pabrikan kerap tidak memenuhi selera penggunanya. Kondisi ini, tak ayal, membuat bisnis modifikasi sepeda memiliki prospek cerah. Salah satunya adalah modifikasi sepeda low rider.

Sejatinya, low rider adalah sepeda yang perawakannya pendek atau ceper. Salah seorang modifikator low rider, Tubagus Krisna Murthi, mengatakan, sepeda low rider sebenarnya meniru bentuk mobil-mobil mewah yang beredar di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1950-an, yang ketika itu tengah ngetren.

Krisna berkisah, pada dekade tersebut, anak muda heboh mengendarai mobil yang diceperkan. Sayangnya, tidak semua anak muda bisa bergaya dengan mobil itu karena harganya yang mahal. "Dari situ muncullah kreasi modifikasi sepeda ceper yang disebut low rider bikinan George Barris di AS," beber Krisna yang juga pemilik Bakul Pit Low Rider.

Tak disangka, kreasi Barris kelak menjadi mahakarya dan bertahan hingga sekarang. Bahkan, karya itu berbalik arah menjadi sepeda untuk bergaya. Beberapa pabrikan sepeda besar malah tercatat pernah memproduksi massal model sepeda ini, seperti Schwinn asal Amerika. Krisna baru membuka Bakul Pit sejak pertengahan 2007. Namun, dia sudah sangat menggilai modifikasi sepeda sejak masih duduk di bangku sekolah menengah. Cara belajarnya otodidak.

Menurut Krisna, ciri-ciri sepeda low rider antara lain memiliki diameter ban ideal 20 inci, setang kemudi tinggi, frame rainbow (berangka pelangi) dan springer (garpu depan) melengkung. Untuk tempat duduk, sadel low rider biasa disebut jok banana (pisang). Sebab, bentuknya memang panjang seperti pisang dengan besi menjulang di bagian belakang yang terkadang digunakan untuk menyandarkan badan.

Meski ada beberapa ciri utama dari low rider, kata Krisna, selera personal tetap menjadi parameter modifikasi sepeda low rider. "Saya selalu membuat sepeda sesuai keinginan pemesan," katanya.

Dia berkata, saat memesan, biasanya klien datang membawa gambar atau foto. Setelah gambarnya cocok, Krisna selanjutnya membuat estimasi dana yang harus dibayar klien. "Saya kasih saran sesuai budget-nya. Kalau setuju, saya segera kerjakan," kata pria 23 tahun ini.

Untuk penggarapan, paling cepat Krisna bisa mengerjakan low rider dalam waktu enam jam. Dengan catatan, klien tidak memesan model yang neko-neko dan suku cadang berasal dari bengkelnya di Bekasi Selatan.

Menurut Krisna, jika permintaan klien banyak, misalnya membikin velg dan setang serta mengecat body, maka waktu penggarapannya bisa sampai dua minggu. Cepat atau lamanya waktu penggarapan ini juga bergantung pada ketersediaan suku cadang atau suku cadang.

Untuk suku cadang, ada dua jenis, yakni klasik dan baru. Untuk mendapatkan suku cadang klasik, Krisna biasanya minta bantuan teman-temannya dari luar kota untuk mencarinya. seperti di Yogyakarta, Semarang, Solo, dan Medan. Untuk suku cadang baru, Krisna mendapatkannya dari seorang agen yang merupakan pengimpor suku cadang asal Taiwan.

Tarif modifikasi low rider yang ditawarkan bengkel Krisna minimal Rp 1,5 juta-Rp 2 juta. Ini untuk pembuatan low rider lengkap dari nol. Krisna mengaku tidak pernah melayani modifikasi dengan cara mengubah sepeda yang sudah ada menjadi low rider.

Selain low rider, Krisna juga memodifikasi model sepeda lain, seperti limo, cruiser, chopper, basman, dan fire bike. Ini adalah model-model sepeda untuk life style, seperti halnya low rider.

Seperti namanya, limo adalah sepeda genjot yang terinspirasi dari sedan limosin. Panjang sepeda ini bisa mencapai 2 meter. Sementara itu, chopper adalah sepeda yang terinspirasi dari motor gede (moge) Harley Davidson. Lalu, cruiser adalah sepeda yang bentuknya mirip sepeda pantai.

Dari sekian jenis ini, Krisna bilang yang paling enak dikendarai hanya chopper. "Sepeda-sepeda ini memang hanya untuk life style bukan dikejar dari sisi fungsionalnya," katanya.

Dari bisnis modifikasi sepeda low rider saja berikut penjualan suku cadangnya, bengkel Krisna bisa meraup omzet Rp 7 juta per bulan.

Modifikator sepeda low rider lainnya adalah Hendra Prasetya. Bersama ketiga rekannya asal Bandung, Jawa Barat, Hendra juga memilih hanya menerima pembuatan sepeda utuh dan tidak menerima perombakan sepeda. "Karena sepeda yang sudah jadi memiliki tema berbeda sehingga banyak yang harus dirombak. Tipe bahan besinya juga beda," kata pria yang akrab disapa Pras ini.

Pras menggagas pendirian bengkel sepeda custom sejak 2009. "Semuanya berawal dari hobi dan mendesain sepeda milik sendiri. Karena ada yang tertarik dan minta dibuatkan, ya, akhirnya saya membuka bengkel," ujarnya.

Meski belum memberi nama bengkelnya, hasil kerja Pras dan teman-temannya cukup dikenal. Selain pemasaran dari mulut ke mulut, dia juga mempromosikan hal itu lewat internet. Pemesan yang datang ke bengkelnya kebanyakan dari kalangan muda, seperti komunitas sepeda atau skate board.

Dalam rnemodifikasi low rider, kata Pras, proses tersulit adalah mendesain dan mencari bahan baku. Untuk soal terakhir, bahkan Pras harus pandai memilih bahan baku yang harganya sesuai dengan isi kantong pelanggannya. "Tidak semua pemesan memasang budget khusus. Ada juga yang mengikuti desain dan harga yang ditawarkan," katanya.

Setelah pemilihan bahan baku, Pras memesan pembuatan rangka sepeda dan aksesori tertentu ke bengkel las. Dia memakai tenaga bengkel las karena biayanya lebih murah daripada membuat sendiri. "Tapi harus detail menginstruksikan ke tukang las supaya desain dan ukurannya sesuai, dan mudah dirakit," ujar pria lulusan Teknik Informatika Universitas Maranatha Bandung ini.

Sampai saat ini, Pras sudah mengerjakan lima sepeda low rider dan dua sepeda chooper. Tarifnya antara Rp 1,5 juta dan Rp 3 juta per unit. Menurutnya, keuntungan sepeda customized, selain mendapat sepeda yang modelnya eksklusif, harganya juga lebih murah dari sepeda yang sudah jadi.

Modifikator sepeda custom lainnya adalah Yudi Kartono, yang memiliki Bengkel Sepeda Ben Hur. Yudi menekuni bisnis modifikasi sejak 2004 di bilangan Radio Dalam, Jakarta Selatan. Ia bahkan dikenal sebagai salah satu pelopor modifikasi low rider di Jakarta.

Harga pembuatan sepeda paling murah adalah Rp 1,5 juta untuk low rider standar. Namun, menurut Yudi, harga rata-rata modifikasi sepeda yang ia kerjakan adalah antara Rp 3 juta dan Rp 4 juta. Untuk suku cadang, ia menetapkan harga, termasuk ongkos pemasangan.

Dalam sebulan, Yudi rata-rata menerima pesanan pembuatan dua sepeda. Namun, di sela-sela itu, ada juga permintaan untuk suku cadang. Rata-rata dalam sebulan permintaan suku cadang antara 5 dan 10 unit. (Kontan/Anastasia Lilin Yuliantina, Dupla Kartini, Indira Prana)

Telkom Kucurkan Rp 153,6 Miliar untuk UKM

Laporan wartawan KOMPAS Haryo Damardono
Selasa, 16 Maret 2010 | 12:35 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) menyatakan, tetap mengalirkan bantuan dana kepada para pelaku ekonomi, khususnya Usaha Kecil dan Menengah (UKM) melalui Program Kemitraan (PK).
Pada Triwulan ke-4 tahun 2009, Telkom telah menyalurkan bantuan senilai lebih dari Rp 41,4 miliar kepada sebanyak 1.767 mitra binaan di seluruh Indonesia.2009, total dana Telkom ke UKM lebih dari Rp 153,6 miliar. Dana itu didistribusikan secara nasional kepada sekitar 6.800 mitra binaan dari berbagai segmen usaha.

"Sejak semula kami meyakini, Telkom akan tumbuh lebih baik di tengah masyarakat yang juga tumbuh, oleh karenanya kegiatan CSR semacam ini sudah melekat menjadi bagian dari strategi korporat kami," kata Vice President Public and Marketing Communication Telkom, Eddy Kurnia, Selasa (16/3) di Jakarta.

Sejauh ini Telkom mempunyai kapasitas untuk menyalurkan bantuan baik dalam bentuk dana bergulir kepada UKM maupun kegiatan CSR pada umumnya. Meski diakui Eddy, persaingan bisnis di sektor telekomunikasi di Indonesia yang melibatkan jumlah pemain yang sangat banyak (11 operator) memang cukup menekan bagi Telkom.

Eddy Kurnia mengatakan, terhitung 2001 sampai 2009, nilai dana bergulir yang disalurkan Telkom sudah mendekati angka Rp 1 triliun. Adapun jumlah mitra binaan yang mendapatkan fasilitas dana terseb ut totalnya mencapai lebih dari 60.000. Dari jumlah tersebut, sekitar 32.000 diantaranya masuk kelompok mitra binaan yang aktif.

Dana bergulir didistribusikan ke berbagai segmen yang meliputi: industri, perdagangan, pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, jasa dan sektor lainnya. Berdasarkan catatan, sejak 2001 hingga 2008 penyaluran dana bergulir Telkom ke pelaku UKM di segmen perdagangan mencapai Rp 278,5 miliar, atau yang terbesar dibanding penyaluran bantuan untuk segmen-segmen lainnya, disusul kemudian oleh penyaluran dana untuk segmen jasa (Rp 186,2 mili ar), dan segmen industri (Rp 146,7 miliar).

Rabu, 03 Maret 2010

Wuih... Laba Bersih Astra Naik Rp 10 Triliun

JAKARTA, Kamis, 25 Februari 2010 | 19:57 WIB

KOMPAS.com - PT Astra International Tbk melaporkan berhasil mencatatkan laba bersih senilai Rp 10,040 triliun atau meningkat 9 persen dari 2008 Rp 9,191 triliun. Prestasi tetap diperoleh meski perekonomian nasional tengah dilanda krisis keuangan global sejak akhir 2008 hingga pertengahan tahun lalu.

Angka tersebut diperoleh dari pendapatan bersih Perseroan yang mencapai Rp 98,526 triliun, sedikit di atas 2008 yakni Rp 97,064 triliun. Sementara laba usaha Perseroan naik 7 persen menjadi Rp 12,756 triliun (2009) dibandingkan Rp 11,876 triliun (2008).

Angka ini merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah Perusahaan. Laba bersih per saham naik 9 persen menjadi Rp 2.480 dari sebelumnya Rp 2.270.
Pelaksana Tugas Presiden Direktur Astra, Prijono Sugiarto menjelaskan, pertumbuhan perekonomian Indonesia tahun lalu tercatat 4,5 persen memberi kesempatan Astra membukukan rekor laba bersih Perseroan dengan membaiknya penyerapan konsumen domestik sepanjang 2009.

”Grup Astra membukukan kinerja yang sangat baik di tahun lalu maski berlangsung resesi ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi tahun ini akan tetap positif menyusul dikeluarkannya berbagai stimulus ekonomi untuk meningkatkan permintaan domestik," ujar Prijono dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (25/2/2010).

Pencapaian positif, lanjutnya, juga tak terlepas dari konsistesi penerapan berbagai pengembangan yang digulirkan semasa kempemimpinan almarhum Michael D Ruslim sebagai Presiden Direktur Astra.

Laba usaha dari bidang usaha otomotif dan jasa keuangan, di luar perusahaan asosiasi dan patungan, pada tahun 2009 meningkat 7 persen menjadi Rp 4,1 triliun dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan bagian atas hasil bersih perusahaan asosiasi dan patungan pada bidang ini mencapai Rp 2,5 triliun atau naik 6 persen dari 2008.

Selanjutnya, nilai ekuitas Perseroan meningkat 21 persen dari Rp 33,1 triliun (per 31 Desember 2008) menjadi Rp 39,9 triliun per akhir Desember 2009. Hal ini mengakibatkan nilai aktiva bersih per lembar saham menjadi sebesar Rp 9.854 naik 21 persen dari Rp 8.171 tahun sebelumnya.

Final dividen sebesar Rp 830 per lembar saham (2008: Rp 570 per saham) akan diajukan kepada pemegang saham saat Rapat Umum Pemegang Saham pada bulan Mei 2010. Jika disetujui, dengan dividen interim Rp 290 per saham (2008: Rp 300 per saham) yang telah dibayar November 2009, maka total dividen menjadi Rp 1.120 per saham (2008: Rp 870 per saham) atau mengalami kenaikan sebesar 29 persen.

Sabtu, 27 Februari 2010

Riset Akuntansi Keperilakuan

Akuntansi merupakan suatu sistem untuk menghasilkan informasi keuangan yang digunakan oleh para pemakainya dalam proses pengambilan keputusan bisnis. Tujuan informasi tersebut adalah memberikan petunjuk dalam memilih tindakan yang paling baik untuk mengalokasikan sumber daya yang langka pada aktivitas bisnis dan ekonomi. Namun, pemilihan dan penetapan suatu keputusan bisnis juga melibatkan aspek-aspek perilaku dari para mengambil keputusan. Dengan demikian, akuntansi tidak dapat dilepaskan dari aspek perilaku manusia serta kebutuhan organisasi akan informasi yang dapat dihasilkan oleh akuntansi.

Akuntansi keperilakuan sebenarnya merupakan bagian dari ilmu akuntansi yang perkembangannya semakin meningkat dalam 25 tahun belakangan ini. Hal ini ditandai dengan lahirnya sejumlah jurnal dan artikel yang berkenaan dengan keperilakuan dan semakin menjamurnya buku-buku teks berbahasa asing yang membahas tentang akuntansi keperilakuan. Salah satu jurnal yang paling populer yang mengangkat permasalahan akuntansi keperilakuan adalah Behavior Research in Accounting yang diterbitkan oleh American Accounting Association. Di Amerika Serikat sendiri, mata kuliah mengenai akuntansi keperilakuan semakin banyak ditawarkan. Perkembangan ini mendukung pertumbuhan riset-riset para mahasiswa akuntansi dan pengajar mereka yang berfokus pada dimensi akuntansi keperilakuan. Adapun perkembangan riset akuntansi keperilakuan menekankan pada aspek akuntansimanajemen khususnya penganggaran. Namun hal ini terus berkembang dan bergeser ke arah akuntansi keuangan, sistem informasi akuntansi dan audit. Dalam audit, riset akuntansi keperilakuan telah berkembang, tujuan literatur lebih difokuskan pada atribut keperilakuan spesifik seperti proses kognitif atau riset keperilakuan pada satu topik khusus seperti audit sebagai tinjauan analitis. Sebagai bidang riset yang sering memberi kontribusi bermakna, riset akuntansi keperilakuan ini dapat membentukkerangka dasar serta arah riset di masa yang akan datang. Banyaknya volume riset atas akuntansikeperilakuan dan meningkatnya sifat spesialisasi riset, serta tinjauan studi secara periodik akanmemberikan manfaat untuk beberapa tujuan berikut ini:

1. Memberikan gambaran state of the art terhadap minat khusus dalam bidang baru yang ingin diperkenalkan.
2. Membantu dan mengidentifikasi kesenjangan riset.
3. Untuk meninjau dengan membandingkan dan membedakan kegiatan riset melalui subbidang akuntansi, seperti audit, akuntansi manajemen dan perpajakan, sehingga para peneliti dapat mempelajarinya selalui subbidang lain. Riset akuntansi keperilakuan merupakan suatu bidang baru yang secara luas berhubungandengan perilaku individu, kelompok dan organisasi bisnis, terutama yang berhubungan dengan proses informasi akuntansi dan audit. Riset akuntansi keperilakuan merupakan suatu fenomena baru yang sebetulnya dapat ditelusuri kembali pada awal tahun 1960-an, walaupun sebetulnya dalam banyak hal riset tersebut dapat digunakan lebih awal. Studi terhadap perilaku akuntan atau perilaku dari nonakuntansi telah banyak dipengaruhifungsi akuntansi dan laporan, antara lain:

1. Pembuatan keputusan dan pertimbangan oleh akuntan dan auditor.
2. Pengaruh dari fungsi akuntansi seperti partisipasi dalam penyusunan, karakteristik sistem informasi dan fungsi audit terhadap perilaku baik karyawan, karakteristik dan fungsi audit terhaap perilaku baik karyawan, manajer, investor, maupun wajib pajak.
3. Pengaruh hasil dari fungsi tersebut, seperti informasi akuntansi dan penggunaan pertimbangan dalam pembuatan keputusan. Berbagai riset yang menggunakan pendekatan kontinjensi dilakukan dengan tujuanmengidentifikasi berbagai variabel kontinjensi yang mempengaruhi rancangan dan penggunaansistem pengendalian manajemen. Secara singkat sebagai variabel kontinjensi yang mempengaruhi desain sistem pengendalian manajemen tersebut adalah sebagai berikut:
1.Ketidakpastian. Seperti tugas, rutinitas, repetisi dan faktor-faktor eksternal lainnya.
2.Teknologi dan saling ketergantungan. Seperti proses produksi, produk misscall.
3.Industri, perusahaan dan unit variabel. Seperti Kanada masuk ke dalam industry, radio, radio konsentrasi dan ukuran perusahaan.
4.Strategi kompetitif (seperti penggunaan biaya rendah atau unik dikembalikan).
5.Faktor-faktor yang dapat dialami. Seperti desentralisasi, sentralisasi, budaya nasional, dll.
Demikian penjelasan mengenai akuntansi keperilakuan. Semoga bermanfaat.[JSC]

sumber : http://www.ukdw.ac.id/2009/id/?p=875

Wuih... Laba Bersih Astra Naik Rp 10 Triliun

JAKARTA, Kamis, 25 Februari 2010 | 19:57 WIB
KOMPAS.com - PT Astra International Tbk melaporkan berhasil mencatatkan laba bersih senilai Rp 10,040 triliun atau meningkat 9 persen dari 2008 Rp 9,191 triliun. Prestasi tetap diperoleh meski perekonomian nasional tengah dilanda krisis keuangan global sejak akhir 2008 hingga pertengahan tahun lalu.

Angka tersebut diperoleh dari pendapatan bersih Perseroan yang mencapai Rp 98,526 triliun, sedikit di atas 2008 yakni Rp 97,064 triliun. Sementara laba usaha Perseroan naik 7 persen menjadi Rp 12,756 triliun (2009) dibandingkan Rp 11,876 triliun (2008).

Angka ini merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah Perusahaan. Laba bersih per saham naik 9 persen menjadi Rp 2.480 dari sebelumnya Rp 2.270.
Pelaksana Tugas Presiden Direktur Astra, Prijono Sugiarto menjelaskan, pertumbuhan perekonomian Indonesia tahun lalu tercatat 4,5 persen memberi kesempatan Astra membukukan rekor laba bersih Perseroan dengan membaiknya penyerapan konsumen domestik sepanjang 2009.

”Grup Astra membukukan kinerja yang sangat baik di tahun lalu maski berlangsung resesi ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi tahun ini akan tetap positif menyusul dikeluarkannya berbagai stimulus ekonomi untuk meningkatkan permintaan domestik," ujar Prijono dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (25/2/2010).
Pencapaian positif, lanjutnya, juga tak terlepas dari konsistesi penerapan berbagai pengembangan yang digulirkan semasa kempemimpinan almarhum Michael D Ruslim sebagai Presiden Direktur Astra.

Laba usaha dari bidang usaha otomotif dan jasa keuangan, di luar perusahaan asosiasi dan patungan, pada tahun 2009 meningkat 7 persen menjadi Rp 4,1 triliun dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan bagian atas hasil bersih perusahaan asosiasi dan patungan pada bidang ini mencapai Rp 2,5 triliun atau naik 6 persen dari 2008.
Selanjutnya, nilai ekuitas Perseroan meningkat 21 persen dari Rp 33,1 triliun (per 31 Desember 2008) menjadi Rp 39,9 triliun per akhir Desember 2009. Hal ini mengakibatkan nilai aktiva bersih per lembar saham menjadi sebesar Rp 9.854 naik 21 persen dari Rp 8.171 tahun sebelumnya.

Final dividen sebesar Rp 830 per lembar saham (2008: Rp 570 per saham) akan diajukan kepada pemegang saham saat Rapat Umum Pemegang Saham pada bulan Mei 2010. Jika disetujui, dengan dividen interim Rp 290 per saham (2008: Rp 300 per saham) yang telah dibayar November 2009, maka total dividen menjadi Rp 1.120 per saham (2008: Rp 870 per saham) atau mengalami kenaikan sebesar 29 persen.

Selasa, 23 Februari 2010

Jurnal Akuntansi IFRS

Nama Kelompok :
Chairul Amri (21207473)
Jefry (20207600)
Vinsensius Mite (21207141)


Struktur Meta Teori Akuntansi Keuangan
(Sebuah Telaah dan Perbandingan antara FASB dan IASC)

I Made Narsa
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk membahas struktur meta teori yang dipergunakan oleh FASB dan IASC dalam mengembangkan rerangka konseptual, menelaah perbedaan-perbedaan mendasar, menganalisis hambatan-hambatan yang dialami serta mengidentifikasi upaya-upaya yang harus dilakukan agar IFRS diterapkan oleh negara-negara anggota. Penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan rerangka dasar yang diatur dalam FASB dan IASC dan kemudian menganalisa hambatan yang timbul dengan adanya penerapan IFRS dan mengidentifikasi bagaimana hambatan tersebut dapat diselesaikan.

Kata kunci: globalisasi, harmonisasi, meta teori, FASB dan IASC, kerangka dasar, akuntansi keuangan
ABSTRACT
The objectives of this paper is to analyses the structure of meta-theoretical of financial accounting that was used by FASB and IASC to develop the conceptual framework for financial accounting reporting. The discussion of conceptual framework conducted by comparison of the basic different between the FASB and
IASC framework, then analyses the constraints to implement IFRS and identify the way out of the constraints faced by the body.

Keywords: globalization, harmonization, meta-theoretical, FASB Dan IASC, Conceptual framework, financial accounting







PENDAHULUAN

Linda Keslar (Zeff dan Dharan1994: 28) mengatakan, ”U.S. standards are not only too cumbersome and too costly, but downright unfair compared to those their foreign competitors have to follow. That is U.S. companies face an uneven playing field…” Linda melihat betapa berbedanya aturan akuntansi yang berlaku di banyak Negara sehingga menimbulkan masalah keterbandingan laporan keuangan. Kondisi ini tentu dapat dipahami, karena dalam proses penyusunan standar akuntansi di suatu negara tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor lokal suatu negara. Wolk et al. (2001: 4) mengatakan, ”Economic conditions have an impact upon both political factors and accounting theory”. Proses ini yang menyebabkan standard dan praktik akuntansi di tiap-tiap Negara terdapat perbedaan.
Masalah dirasakan mulai muncul, ketika perkembangan teknologi mengubah dunia internasional ini menjadi sebuah global village, negara-negara seolah tanpa batas (borderless). Era ini populer dengan nama globalisasi. Dalam konteks akuntansi maka munculah akuntansi internasional yang mencoba menguraikan teori dan praktik-praktik akuntansi yang berlaku secara internasional. Harmonisasi standar akuntansi keuangan dalam wujud International Financial Reporting Standard (IFRS) berlaku secara internasional, dan dalam proses penyusunannya faktor politik dan kondisi ekonomi menjadi tidak relevan.
Kita tidak dapat memungkiri bahwa pengaruh Amerika dalam kancah internasional sangat kuat hampir dalam segala aspek kehidupan. Acapkali kita sulit membedakan mana yang internasional dan mana yang Amerika.
Tetapi lingkungan bisnis yang ada di Amerika Serikat tidaklah universal. Ada tujuh faktor yang menyebabkan perbedaan dalam pelaporan keuangan sebagaimana dikatakan oleh Nobes dan Parker (1995:11), “the following seven factors may constitute an explanation for financial reporting differences: legal system, providers of finance, taxation, the accounting profession, inflation, theory, and the accidents of history”
Dengan demikian apakah standard akuntansi keuangan Amerika Serikat fit untuk lingkungan bisnis global? Inilah sumber dari masalah keterbandingan laporan keuangan. Nobes dan Parker (1995: 3) mengatakan, ”If corporate financial reporting and accounting were identical in all countries of the world, there would be no point in studying comparative international accounting”
Pada lingkup global, sebenarnya ada dua badan penyusun standar yang berkaitan dengan praktik akuntansi secara internasional. Badan-badan itu adalah The International Federation of Accountant (IFAC), dan The International Accounting Standards Committee (IASC). IASC lebih berkonsentrasi untuk membuat International Accounting Standards (IASs). Sedangkan IFAC lebih memfokuskan pada upaya pengembangan International Standard Audits (ISAs), kode etik, kurikulum pendidikan, standar akuntansi sektor swasta, dan kaidah-kaidah bagi akuntan dalam berbisnis atau mereka yang terlibat dalam teknologi.
Sangat diharapkan ada sebuah standar yang dapat diterima oleh semua Negara di dunia. Dengan adanya standar yang diterima secara internasional, diharapkan laporan keuangan memiliki daya keterbandingan yang lebih tinggi antar negara. Tentu saja upaya-upaya kearah harmonisasi internasional ini bukanlah pekerjaan mudah.
Faktanya dalam dunia akuntansi saat ini standar akuntansi yang berlaku di Amerika Serikat yang disusun oleh Financial Accounting Standards Board (FASB), diikuti oleh beberapa negara, baik secara langsung maupun modifikasi. Sementara International Accounting Standards (IASs) yang dikeluarkan oleh International Accounting Standards Committee (IASC), belum diikuti oleh semua negara, bahkan oleh negara-negara anggota yang tergabung dalam IASC tersebut.
Artikel ini bertujuan untuk membahas struktur meta teori yang dipergunakan oleh FASB dan IASC dalam mengembangkan rerangka konseptual, menelaah perbedaan-perbedaan mendasar, menganalisis hambatan-hambatan yang dialami serta mengidentifikasi upaya-upaya yang harus dilakukan agar IFRS diterapkan oleh negara-negara anggota.
Bagian berikut dari artikel ini akan menjelaskan pergeseran orientasi pemikiran dari Postulat ke objektif, pembuatan kebijakan akuntansi, struktur meta teori akuntansi keuangan, rerangka konseptual FASB, rerangka konseptual IASC, telaah dan perbandingan struktur meta teori FASB dengan IASC, hambatan-hambatan dan upaya penerapan IFRS dan ditutup dengan simpulan.






PERGESERAN ORIENTASI DARI
POTSULAT KE OBJEKTIF

Dalam akuntansi kita sering kali membedakan antara teori dan praktik. Kita sering mendengar dua orang akuntan berdebat mengenai sebuah proposal, ”ini hanya teori, tidak dapat dipraktikkan”, atau pada diskusi lainnya ”ini adalah teori depresiasi” atau yang lainnya lagi mengatakan ”teori capital budgeting”, atau ”teori akuntansi” dan lain sebagainya. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan teori akuntansi?
Paton dan Littleton (1940: ix) mendefinisikan teori akuntansi, “…is a coherent, coordinated, consistent body of doctrines which may be compactly expressed in the form of standards it desired”
Keberadaan teori akuntansi yang mapan sangat penting dan diharapkan mampu menjelaskan fakta atau fenomena akuntansi dengan akurat dan memiliki konsistensi logik. Banyak sekali ahli teori akuntansi mencoba menjelaskan praktikpraktik akuntansi yang sedang berlaku, dan berupaya untuk menemukan dasar teorinya. Pada umumnya mereka berfokus pada postulat, konsep dasar, maupun asumsi yang mendasari praktik. Ternyata pendapat mengenai postulat itu sendiri
sangat beragam, tidak ada kesepakatan, sehingga usaha-usaha untuk merumuskan teori akuntansi sangat lambat bahkan cenderung membingungkan. Perdebatan terus berlanjut, setiap orang selalu melihat hal yang sama dari sudut pandang yang berbeda-beda, sehingga yang ada adalah kumpulan pendapat.
Tetapi bukan berarti tidak ada satu teoripun yang berhasil dirumuskan. Justru sebaliknya, bahwa banyak teori yang sudah berhasil dirumuskan namun hanya menjelaskan akuntansi dari bagian tertentu saja dan dari sudut pandang yang berbeda. Chamber (1965) secara optimis mengatakan, bahwa, ”The history of accounting thought is not a history of development, but a series of disconnected episodes”
Akhirnya setelah menyadari bahwa tidak ada kemajuan berarti yang dicapai, terjadilah pergeseran orientasi dari postulat ke tujuan (objectives) pelaporan akuntansi. Pergeseran orientasi ini diawali dengan dikeluarkannya ASOBAT oleh AAA pada tahun 1964. Perkembangan ini diikuti oleh APB dengan mengeluarkan Statement no 4 (1970), kemudian diteruskan oleh laporan komite Trueblood (AICPA, 1973). Setelah APB digantikan oleh FASB, pada tahun 1978, FASB mengerluarkan SFAC No 1 dengan judul, Objectives of Financial Reporting by Business Enterprises.
Struktur teori akuntansi keuangan yang menempatkan tujuan pada posisi paling atas tersebut disebut dengan Meta Teori Akuntansi Keuangan (Wolk et al. 2001: 173). Atas dasar meta teori ini, masalah yang timbul dalam mencari postulat yang dapat disetujui bersama sudah teratasi. Dengan arah tujuan pelaporan akuntansi, penelitian dapat dilakukan dengan lebih menekankan pada pengembangan teori akuntansi yang berguna untuk menerangkan dan meramalkan praktik akuntansi
(Baridwan 1991: 3).
Kam (1986:34) menggambarkan bahwa postulat, objektif dan definisi merupakan sumber tertinggi untuk bisa melakukan deduksi dalam mengembangkan rerangka konseptual akuntansi. Dalam sistem deduksi, pada tingkatan pertama (Top level) terdiri dari pernyataan yang sangat umum, yaitu postulat atau asumsi dasar akuntansi, definisi, dan termasuk tujuan pelaporan keuangan. Pada tingkatan kedua mencakup prinsip-prinsip atau standar akuntansi yang skopenya tidak seluas atau seumum postulat. Pada tingkatan ketiga mencakup prosedur-prosedur akuntansi atau metode-metode akuntansi yang dapat diterapkan langsung dalam praktik (Kam1986: 34-35).
Jika diperhatikan, penjelasan teori secara deduksi menurut Kam tersebut khususnya pada tingkatan pertama (berisi postulates, definitions, dan Objectives of Financial Reporting), sebenarnya sudah mencakup pergeseran orientasi dari pendekatan yang berorientasi postulat-prinsip ke pendekatan yang berorientasi tujuan-standar. Kam memkombinasikan kedua orientasi tersebut dengan sangat elegan, seolah-olah mengisyaratkan perlunya mengakhiri perdebatan mengenai postulat (dan istilah lainnya yang berbeda-beda) dan menyepakati apa sebenarnya orientasi yang ingin
dijadikan acuan.
Ketika meta teori ini dipergunakan sebagai landasan menyusun kebijakan akuntansi di suatu negara, tampaknya kondisi lingkungan dimana akuntansi itu akan dioperasikan juga sangat mempengaruhi. Dalam APBS 4 (1970: par. 17) dikatakan, ”...depents ont only on delinetion of accounting, but olso on an understanding of the
environent within which financial accounting operates and which it is intended to reflect” Hal ini menyebabkan kebijakan akuntansi yang diterapkan antar negara ada kecenderungan berbeda satu sama lainnya. Dengan demikian, bagaimana sebaiknya kebijakan akuntansi itu dibuat?

PEMBUATAN KEBIJAKAN AKUNTANSI
Praktik akuntansi dalam suatu negara sebenarnya didasarkan pada sebuah aturan yang dengan sengaja dikembangkan untuk mencapai tujuan sosial tertentu. Dalam proses perancangan dan pengembangan aturan akuntansi tersebut banyak mempertimbangkan faktor seperti kondisi ekonomi, sistem politik dan teori akuntansi itu sendiri. Wolk et al. (2001) menggambarkan proses ini seperti pada gambar 1.

Teori Akuntansi

Teori akuntansi sebagaimana tampak pada gambar 1 menempati posisi sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan. Pemahaman akan pentingnya teori, baik oleh praktisi maupun para penyusun standar sangat penting, supaya rancangan standar akuntansi dapat menjadi pedoman yang stabil, dan sekaligus adaptif, karena praktik
akuntansi bersifat dinamik dan selalu menghadapi masalah-masalah praktis dan professional.



Masalah praktis memang dapat diatasi atau dipecahkan dengan berdasarkan pengalaman praktis, tetapi pengalaman praktis saja tidaklah cukup, melainkan harus dilandasi oleh pemahaman yang kuat terhadap teori akuntansi. Kam (1986: 38 ) mengatakan,

Behind every practice is a rationale…Good practice is based on good theory whether we are aware of the theory or not. If we can formulate “good” theory, then we will have “good” practices if the theory is followed.

Praktik akuntansi yang baik dan maju tidak akan pernah tercapai jika teori yang melandasinya tidak baik. Teori yang baik tidak akan pernah menjiwai praktik jika teori yang baik tersebut tidak dipahami.

Kondisi Ekonomi

Sistem perekonomian biasanya diklasifikasikan menjadi sistem kapitalis, sistem sosialis, atau kombinasi keduanya. Dalam setiap sistem perekonomian masalah central yang dihadapi adalah alokasi sumberdaya yang tersedia untuk produksi
barang dan jasa. Proses alokasi ini berpengaruh terhadap kondisi perekonomian.
Karena kondisi ekonomi berdasarkan sifatnya adalah dinamis, maka kondisi perekonomain suatu negara menjadi faktor yang relevan dalam perumusan kebijakan akuntansi. Kompleksitas ekonomi akan berkaitan langsung dengan kompleksitas akuntansi. Negara dengan subsistem perekonomian agraria misalnya kebutuhan akuntansinya akan sangat berbeda dengan negara yang subsistem perekonomian perindustrian. Kebijakan akuntansi harus konsisten dengan tujuan ekonomi makro dan perencanaan berbagai program ekonomi suatu negara.
Demikian pula sebaliknya, kebijakan akuntansi yang ditetapkan akan dapat memberikan implikasi ekonomi yang sangat luas, berpengaruh terhadap perilaku para pengambil keputusan ekonomik, perpajakan, sistem bonus, harga pasar saham, dan lain sebagainya. Banyak penulis dan peneliti yang membahas tentang konsekuensi
ekonomi yang timbul (lihat dalam Wolk et al. 2001, Zeff 1994, Sunder 1988, FASB, dalam statement 2, 1980, dan Statement 5, 1984, Brown 1987).
Konsekuensi ekonomi ini, sebagaimana diunkapkan oleh Zeff (1994) adalah dampak laporan akuntansi terhadap perilaku para pengambil keputusan bisnis, pemerintah, investor dan kreditor, dan masyarakat bisnis lainya.

Faktor Politik

Apakah pembuatan kebijakan akuntansi harus dipengaruhi proses politik? Jawaban atas pertanyaan ini tidak jelas batasannya. Kebijakan akuntansi sebenarnya diputuskan melalui suatu konsensus, sehingga proses pembuatannya dianggap bersifat politik. Gerboth (1973) menyatakan, suatu politisasi pembuatan peraturan akuntansi
tidak dapat dielakkan, dan hal ini merupakan suatu keharusan. Selanjutnya, Gerboth menyatakan, jika suatu keputusan kebijakan akuntansi keberhasilannya tergantung pada keberterimaan oleh masyarakat, maka masalah-masalah penting yang timbul tidak bersifat teknis melainkan politis.
Horngren (1973) berpendapat senada, bahwa standar akuntansi merupakan hasil tindakan politik dan sosial yang akan mempengaruhi masyarakat. Tetapi Solomons (1978) menyatakan perlu suatu kehati-hatian dan diperhatikan pula
bahwa faktor politik tidak harus selalu dikedepankan dalam penetapan standard. Jika faktor politik dikedepankan, kredibilitas akuntansi benar-benar dipertaruhkan. Jika badan-badan penyusun standar sering melakukan kesalahan, maka kepercayaan masyarakat dan kalangan bisnis akan hilang.
Sandaran utama penetapan kebijakan akuntansi adalah teori yang sehat. Wright (Suwardjono, 2005: 38) mengatakan, ”Theory, without practice to test it, to verify it, to correct it, is idle speculations; but practice, without theory to animate it, is mere mechanism. In everi art and business, theory is the soul and practice is the body” Dengan demikian diperlukan adanya struktur meta teori yang valid.


STRUKTUR META TEORI

Meta teori akuntansi keuangan menggunakan pendekatan deduksi dalam proses penalarannya. Sebagaimana tampak pada gambar 2, struktur meta teori akuntansi keuangan menempatkan tujuan sebagai tingkatan paling tinggi. Tetapi jika suatu kebijakan ditetapkan untuk suatu negara tertentu, mungkin tujuan pelaporan keuangan harus mendukung tujuan ekonomik suatu negara.


Suwardjono (2005) menggunakan istilah perekayasaan pelaporan keuangan untuk menggambarkan struktur meta teori akuntansi keuangan. Perekayasaan akuntansi berkepentingan dengan pertimbangan untuk memilih dan mengaplikasikan
ideologi, teori, konsep dasar, dan teknologi yang tersedia secara teoritis dan praktis untuk mencapai tujuan ekonomik dan sosial negara dengan mempertimbangkan faktor sosial, ekonomik, politik, dan budaya negara (hal 102). Jika digambarkan secara generik tanpa dikaitkan dengan satu negara tertentu, maka struktur meta teori akuntansi keuangan tampak pada gambar 3.
Pada tingkatan pertama adalah postulates, definisi dan tujuan pelaporan keuangan. Postulates yang biasa dipakai adalah Going concern, time period, accouning entity, dan monetary unit (Wolk, et al. 2001: 139). Dan tujuan umum pelaporan keuangan adalah menyediakan informasi keuangan untuk dasar pengambilan keputusan ekonomik dan sosial.
Pada tingkatan kedua para perancang kebijakan akuntansi harus memilih berbagai konsep dasar yang relevan, menentukan subjek pelaporan, target pemakai, jenis informasi yang dilaporkan, simbol atau elemen-elemen yang dipakai, dasar pengukuran, kriteria pengakuan, dan medium pelaporan, dan cara melaporkan (Suwardjono, 2005: 102). Pada tingkatan ketiga dibuat suatu rerangka konseptual yang dijabarkan dalam bentuk standar akuntansi dan acuan lainnya sehingga membentuk generally accepted accounting principles. Tingkatan terakhir adalah media pelaporan yang menentukan bentuk, isi dan jenis laporan.
Karena berbagai faktor lokal yang terjadi dalam suatu negara, maka ketika kebijakan akuntansi disusun, maka sebagaimana telah diuraikan dimuka model generik pada gambar 2, akan menjadi spesifik untuk negara bersangkutan. Kebijakan akuntansi antar negara akan dapat berbeda satu sama lainnya, dan harus diikuti dalam praktik akuntansi.

RERANGKA KONSEPTUAL FASB

Dewan penyusun standar akuntansi di Amerika Serikat untuk pertama kalinya dibentuk pada tahun 1936 dengan nama Committee on Accounting Procedure (CAP). Dewan ini bekerja sampai tahun 1959 dan berganti nama menjadi Accounting Princilpes Booard (APB). Hasil karya APB yang terkenal adalah ARS nomor 7 dan yang paling terkenal adalah APB Statemen no 4 yang diterbitkan tahun 1970. APB bekerja sampai dengan tahun 1973, kemudian digantikan oleh Financial Accounting Standards Board (FASB) sampai sekarang ini. FASB berbeda dengan dewan-dewan sebelumnya, karena didukung oleh enam organisasi profesi, yaitu, AAA, AICPA, Financial Analysts Federation, Financial Executive Institute, Institute of Management Accountants, dan Securities Industry Association.
Setelah mengalami beberapa titik waktu (Juncture) dalam merumuskan prinsip-prinsip akuntansi (Zeff 1984), FASB akhirnya berhasil membuat sebuah model rerangka konseptual yang mapan disebut, Statement of Financial Accounting
Concepts (SFAC). SFAC ini dianggap lengkap dan terdiri dari 6 statements, yaitu SFAC No 1 (1978), SFAC No 2 (1980), SFAC No 3 (1980), SFAC No 4 (1980), SFAC No 5 (1984), dan SFAC No 6 tahun 1985. SFAC No 6 menggantikan SFAC no 3 dan mengamandemen SFAC no 2. Sedangkan draft SFAC 7 sampai saat ini belum pernah definitif.
Model rerangka konseptual FASB ini mencakup empat komponen dasar, yaitu (1) tujuan pelaporan keuangan yang dituangkan pada SFAC no 1 dan SFAC no 4. (2) Kriteria kualitas informasi yang dituangkan pada SFAC no 2, (3) Elemen-elemen laporan keuangan yang dituangkan pada SFCA no 6 (pengganti SFAC no 3) (4) Pengukuran dan Pengakuan yang dituangkan pada SFAC no. 5. Model ini (lihat gambar 3) dirancang dengan cukup luas dan mencakup perusahaan bisnis dan nonbisnis. Rerangka ini merupakan dasar teoritis bagi FASB dalam mengembangkan standard akuntansi keuangan (Statement of Financial Accounting Standard) di Amerika Serikat.

Standar-standar tersebut berkenaan dengan pengukuran aktivitas ekonomi, penentuan waktu kapan pengukuran dan pencatatan harus dilakukan, ketentuan pengungkapan mengenai aktivitas tersebut, penyiapan dan penyajian ringkasan aktivitas ekonomi tersebut dalam bentuk laporan keuangan.

RERANGKA KONSEPTUAL IASC
Globalisasi dunia menuntut adanya standar akuntansi yang seragam. Namun untuk mencapai sebuah keseragaman tidaklah mudah. Kondisi ini memerlukan adanya sebuah badan penyusun standar internasional. Salah satunya adalah International Accounting Standards Committee (IASC).
Kesepakatan pembentukan IASC terjadi pada tanggal 23 Juni 1973 di Inggris yang diwakili oleh organisasi profesi akuntansi dari sembilan negara, yaitu Australia, Canada, Prancis, Jerman Barat, Jepang, Mexico, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat (Nobes dan Parker 1995: 9; dan Solomons, 1986: 60).
Tujuan pembentukan IASC adalah, “to formulate and publish in the public interests, basic standards to be observed in the presentation of audited accounts and financial statements and to promote their worldwide acceptance and observance” Jadi tujuan dibentuknya IASC adalah memformulasi standar dan mendorong keberterimaan
dan ditaatinya IFRS secara luas di dunia. (Solomons 1986: 60).
Sampai saat ini IASC beranggotakan sekitar 150 organisasi atau badan penyusun standard akuntansi dari 113 negara (media akuntansi, 2000), dan telah berhasil merumuskan model teoritis yang juga mengadopsi meta teori dengan menempatkan tujuan sebagai top level. Model ini disebut Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements (FPPFS) (naskah asli terdapat di IAI, SAK, Oktober 2004). Secara diagramatis, dengan mengacu gambar 2 struktur meta teori akuntansi keuangan, Model FPPFS ini tampak pada gambar 4.
Kerangka dasar ini pada hakikatnya memuat lima unsur utama, yaitu (1) tujuan laporan keuangan yang dituangkan dalam paragraf 12-21, (2) asumsi dasar dituangkan pada paragraf 22-23, dan konsep modal dan pemeliharaan modal yang dituangkan pada paragraf 102-110, (3) karakteristik kualitatif yang menentukan manfaat informasi dalam laporan keuangan yang dituangkan pada paragraf 24-46, (4) elemen-elemen laporan keuangan yang dituangkan pada paragraf 47-81, (5) definisi, pengakuan dituangkan pada paragraf 82-98, dan pengukuran unsur-unsur yang membentuk laporan keuangan dituangkan pada paragraf 99-101.
Kerangka dasar ini dimaksudkan sebagai acuan bagi komite penyusun standar akuntansi keuangan dalam pengembangan standar akuntansi keuangan dimasa depan dan dalam peninjaun kembali terhadap standar akuntansi keuangan yang berlaku.

TELAAH DAN PERBANDINGAN

Kedua struktur meta teori versi FASB dan versi IASC, memiliki unsur-unsur yang mirip. Tetapi ada beberapa perbedaan prinsip dalam kedua model tersebut. Pertama, pernyataan tujuan di FASB adalah tujuan pelaporan keuangan, tetapi di IASC tujuan laporan keuangan. Meskipun IASC pada paragraf 07 menyatakan bahwa, ”Financial
statements form part of the process of financial reporting”, tetapi sebenarnya ada hal mendasar yang menyebabkan kedua pernyataan tujuan tersebut berbeda, yaitu lingkup penerapannya. Lingkup penerapan FASB adalah di Amerika Serikat yang tentu saja mempertimbangkan karakteristik lingkungan, sebagaimana dinyatakan dalam SFAC No 1 paragraf 9 sebagai berikut:
Thus, the objectives set.....depend significantly on the nature of the economic activities and decisions with which the users are involved. Accordingly, the objectives in this Statements are affected by the economics, legal, political, and social environment in the United States.
Sedangkan lingkup penerapan IASC adalah internasional, sehingga karaktristik lingkungan local/Negara menjadi tidak relevan. Ketiadaan konteks karakteristik lingkungan inilah yang barangkali menyebabkan IASC menggunakan pernyataan tujuan laporan keuangan, karena pelaporan keuangan mengandung konteks lingkungan.
Kedua, fokus utama tujuan pelaporan keuangan. Dalam FASB dengan jelas dungkapkan pada paragraf 34, bahwa ”Financial reporting should provide information that is useful to present and potential investors and creditors and other
users in making rational investment, credit, and similar decisions”.
Mengapa fokus utama adalah investor dan kreditor? Hal ini disebabkan investor dan kreditor adalah pengguna mayoritas dan pelaku utama di pasar modal Amerika yang sangat berkembang pesat. Sementara di IASC target pemakai dinyatakan secara umum tidak fokus pada kelompok tertentu. Misalnya pada paragraf 13, dinyatakan, ”Financial statements prepared for these purpose
meet the common needs of most users”. Hal ini disebabkan karena harus mempertimbangkan karakteristik pelaku utama di berbagai negara, dengan tingkatan pertumbuhan ekonomi yang berbeda, tingkatan kecanggihan pasar keuangan yang juga berbeda, sehingga dinyatakan secara umum.


Alasan teoritis yang melatar belakangi mengapa FASB memfokuskan investor dan kreditor sebagai tujuan pelaporan keuangan dapat dijelaskan sebagai berikut. Peran sosial akuntansi dapat dilihat dari sejauh mana akuntansi dapat mengendalikan perilaku para pengambil keputusan ekonomik untuk bertindak menuju ke suatu pencapaian tujuan ekonomi dan sosial suatu negara. Salah satu tujuan ekonomik negara adalah adanya alokasi sumberdaya ekonomik yang efisien. Proses alokasi sumberdaya ini dapat terjadi melalui mekanisme di pasar modal, karena pasar modal merupakan tempat bertemunya peminta dan penyedia dana (investor dan kreditor). Informasi akuntansi diharapkan berperanan dalam membantu mereka dalam proses pengambilan keputusan ekonomik.
Ketiga, Asumsi yang mendasari penyusunan laporan keuangan (underlying assumption) paragraf 22-23, dan konsep modal dan konsep mempertahankan modal paragraf 102-110, secara ekspisit dinyatakan dalam IASC. Tetapi FASB tidak menyajikan kedua komponen tersebut sebagai komponen konsep yang terpisah, karena kedua hal tersebut merupakan konsep dasar yang digunakan oleh FASB dalam penjelasan, argumen dan penalaran yang menyertai setiap komponen konsep.
Misalnya pada SFAC no. 5 paragraf 45 dinyatakan, ”The full set of articulated financial statements discussed in this Statement is based on the concept financial capital maintenance” Konsep ini juga digunakan untuk penjelasan pada paragraph 46-48. Demikian pula pada SFAC No 6 paragraf 71, “A concept of maintenance of capital or recovery of cost is a prerequisite for separating return of capital…..” Demikian pula paragraf 72, “The financial capital concept is the traditional view and is generally the capital maintenance concept in present primary financial statements.”
Konsep accrual basis, juga demikian. FASB menggunakannya sebagai penjelasan dan argumen pada SFAC No. 6 pada sub topik Accrual Accounting and Related Concepts mulai paragraph 134 sampai paragraf 145.
Dengan memperhatikan beberapa perbedaan yang ada, tampaknya struktur meta teori yang digunakan oleh FASB lebih sempurna dibandingkan dengan struktur meta teori IASC. FASB dalam membangun model menggunakan argumen dan penalaran yang lebih kuat serta penjelasan yang lebih lengkap untuk setiap konsep yang dipakai, sehingga membentuk sebuah knowledge. Dengan demikian FASB lebih memiliki aspek pendidikan. Hal ini secara explisit dinyatakan pada bagian
pengantar SFAC No. 2, yaitu:

However, knowledge of the objectives and concepts the Board will use in developing
standards should also enable those who are affected by or interested in financial accounting standards to understand better the purposes, content, and characteristic of information provided by financial accounting and reporting.

HAMBATAN-HAMBATAN DAN UPAYA
DALAM PENERAPAN IFRS

Pembuatan standar akuntansi di IASC tidaklah melibatkan seluruh anggota yang jumlahnya sangat banyak, melainkan oleh beberapa negara yang disebut dengan nama G4+1 yang terdiri dari perwakilan badan-badan standar nasional dari Negara Australia, Kanada, Selandia Baru, Inggris dan Amerika Serikat. Alasan dibentuknya G4+1 ini adalah anggota IASC terlalu banyak, terdiri dari anggota tetap dan tidak tetap, serta sangat beragam. Keberagaman wakil yang duduk dalam IASC ini juga mencerminkan keberagaman tingkatan ekonomi negara-negara yang diwakilinya, hal ini terkadang memerlukan kompromi-kompromi guna menyetujui sebuah standar.
Meskipun sebagian besar anggota IASC telah menyetujui IFRS, tetapi tidak semua anggota IASC menerapkan dinegaranya masing-masing. Berbeda dengan anggota yang tergabung dalam G4+1. Mereka berkumpul secara intensif dan bekerja penuh waktu. Dalam setiap proyek pengembangan yang dikerjakan, mereka mengembangkannya kedalam lingkup Negara mereka masing-masing. Oleh karena anggota G4+1 ini adalah negara-negara maju yang memiliki pasar keuangan yang canggih, maka kompromi-kompromi sangat sedikit terjadi.
Negara-negara maju akan mendominasi pengembangan pasar keuangan. Kebutuhan informasi para investor tampaknya lebih terkait dengan Amerika Serikat, Eropa Daratan, Inggris, dan Australia. Jika standar akuntansi internasional dimaksudkan berlaku untuk semua anggota IASC, yang memiliki banyak perbedaan, maka hal ini merupakan hambatan yang barangkali sulit dipecahkan.
Radebaugh (1975:41) mengemukakan bahwa banyak sekali faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pengembangan tujuan, standar, dan praktik akuntansi. Rerangka ini mencakup delapan faktor, yang secara umum kedelapan faktor tersebut ada di setiap negara, tentu dengan tingkatan dan karakteristik yang sangat berbeda.
Karakteristik dan tingkatan yang berbeda antar negara merupakan hambatan mendasar yang dihadapi dalam proses harmonisasi standar akuntansi keuangan. Lebih lanjut, Solomons (1986:63) mengatakan:
Just as accounting standards within a single country attempt to eliminate arbitrary and unnecessary differences in the accounting methods used by different companies, so in the international field, efforts are being made to eliminate or reduce accounting differences across national boundaries. Because some of those differences reflect differences in legal systems, in political systems and in stage of economic development, the progress of harmonization is slow and difficult.


The Development of Accounting Objectives, Standards and Practices
Enterprise Users:
1. Management
2. Employee
3. Supervisory council
4. Board of Directors
International Influences:
1. Colonial history
2. Foreign investors
3. International committees
4. Regional cooperation
5. Regional capital markets
Government:
1. Users: tax, planners
2. Regulators


Others external users
1. Creditors
2. Institutional investors
3. Noninstitutional investors
4. Securities Exchange
Local environtment
characteristics
4. Rate of economic growth
5. Inflation
6. Public vs private ownership
and control of the economy
7. Cultural attitudes
Nature of The enterprises
1. Form of business organizations
2. Operating charactristics
Accounting Profession:
1. Nature & extent of a
profession
2. Professional associations
3. Auditing
Academic Influences:
1. Educational infrastructure
2. Basic of applied research
3. Academic association

Sumber: Radebaugh (1975: 41)
Gambar 5. The Evolution of Accounting and Reporting Practices

Hambatan lain yang muncul adalah adanya perbedaan kebutuhan dan keinginan antara Negara maju dengan yang belum maju dan antara Negara yang tingkat pertumbuhan ekonominya sangat tinggi dan Negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi lebih rendah bahkan sangat rendah. Apa yang tepat diterapkan di Amerika Serikat, belum tentu cocok diterapkan di Negara lain dengan karakteristik lingkungan dan perkembangan ekonomi yang berbeda. Demikian pula apa yang dirancang oleh G4+1 belum tentu cocok diterapkan untuk seluruh anggota IASC. Solomons (1986: 63) mengatakan,

Their needs are different in important respect, and one should not assume that accounting policies that appropriate for the United States are necessarily appropriate for, say, India or Indonesia. This is because the objectives to be served by financial reporting may be different.

Tidak ada enforcement yang bisa diterapkan
bagi Negara yang tidak menerapkan IFRS. Yang harus dilakukan oleh IASC sebagai badan penyusun standar akuntansi interasional adalah membuat para anggota merasa butuh menerapkan IFRS. Upaya yang bisa ditempuh adalah pertama, mengajukan pengakuan melalui International Organization of Securities Commissions, supaya perusahaan (Negara) yang akan melakukan crossborder listing menggunakan IFRS dalam pelaporan keuangan mereka. Tindakan ini selanjutnya diikuti dengan pengakuan oleh komisi-komisi efek atau peraturan yang ada. Jika hal ini terjadi, maka akan mendorong perusahaan-perusahaan multinasional untuk listing di bursa efek mancanegara.
Kedua, IASC harus membentuk badan penyusun standar yang terpisah dari badan-badan akuntansi. Untuk itu, IASC harus melakukan restrukturisasi. Saat ini IASC didominasi oleh badan-badan profesi akuntansi sebanag penyusun standar. Restrukturisasi ini diharapkan dapat mendorong kemandirian baik dari segi dana maupun operasional.

KESIMPULAN

FASB dan IASC dalam menyusun standar sama-sama berbasis pada meta teori akuntansi keuangan, yang menempatkan tujuan pelaporan pada tingkat paling tinggi. Rerangka konseptual FASB merupakan dasar teoritis pengembangan standar akuntansi di Amerika Serikat, sehingga memasukkan konteks lingkungan. Tetapi rerangka konseptual IASC yang menjadi landasan teoritis pengembangan standar akuntansi keuangan internasional, konteks lingkungan menjadi tidak relevan.
Terdapat beberapa perbedaan antara kedua rerangka konseptual tersebut, yaitu pertama pernyataan tujuan, dimana FASB menyatakan tujuan pelaporan keuangan, sementara IASC menyatakan tujuan laporan keuangan. Kedua, fokus utama pelaporan menurut FASB adalah investor dan kreditor, sementara IASC tidak fokus pada salah satu kelompok tertentu. Ketiga, Asumsi dasar dan konsep modal dan konsep pemeliharaan modal, secara eksplisit dinyatakan terpisah oleh IASC, sementara FASB menggunakan konsepkonsep tersebut pada setiap konsep yang diajukan sebagai penjelasan, argumen, dan penalaran.
Penerapan IFRS ternyata mengalami hambatan yang sangat serius, karena banyak sekali terdapat perbedaan antar negara-negara anggota, baik dalam konteks sosial budaya, hukum, ekonomi, politik, pendidikan, sistem pemerintahan, sistem pajak, dan lain sebagainya.
IASC harus mengupayakan pengakuan dari International Organization of Securities Commissions, supaya perusahaan-perusahaan yang melakukan cross-border listing menggunakan IFRS. Hal ini dapat mendorong perusahaan-perusahaan multinasional untuk melakukan listing di mancanegara. Hal lain yang dapat dilakukan IASC adalah melakukan restrukturisasi badan penyusun standar untuk mendorong kemandirian baik dari segi dana maupun operasinal.











Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting
DAFTAR PUSTAKA

Accounting Principles Board (APB) 1970. Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements of Business Enterprises, APB Statement No 4. New York: AICPA.
Baridwan, Zaki. Maret 1991. “Teori Akuntansi: Perkembangan dan Implikasinya terhadap Praktik Akuntansi”, Jurnal Akuntansi dan Manajemen STIE-YKPN.
Brown, Victor H. 1987. “Accounting Standards: Their Economic and Social Consequences”. Dalam Robert Bloom dan Pieter T. Elgers. Issues in Accounting Policy: A Reader. New York: The Dryden Press,
Chamber, Raymond J. July 1965 “Measurement in Current Accounting Practices”, The Accounting Review
Financial Accounting Standards Board (FASB). 1978, 1980, 1984, 1985 Statement of Financial Accounting Concept, No 1 – 6.
Gerboth, Dale L., July 1973. “Research, Institution, and Politics in Accounting Inquiry”, The Accounting Review, pp. 481.
Horngren, Charles T. 1973 “The Marketing of Accounting Standards”, Journal of Accountancy, October, pp. 61-66.
Ikatan Akuntan Indonesia. Oktober 2004 Standar Akuntansi Keuangan, Jakarta: Salemba Empat.
Kam, Vernon. 1986. Accounting Theory, New York: John Wiley & Sons.
Keslar, Linda. 1994, “U.S. Accounting: Creating an Uneven Playing Field”?. Dalam Stephen A. Zeff dan Bala G. Dharan, Readings and Notes on Financial Accounting: Issues and Controversies, 4th. New York: McGraw-Hill, Inc.
Nobes, Christopher dan Parker, Robert. 1995, Comparative International Accounting, 4th. Hemel Hempstead: Prentice-Hall International (UK).
Paton, William A. dan A.C. Littleton. 1940. “An Introduction to Corporate Accounting Standards”. American Accounting Association.
Radebaugh, Lee H. Fall 1975 “Environmental Factors influencing the Development of Accounting Objectives, Standards, and Practices in Peru”, The International Journal of Accouting Education and Research.
Solomons, David. 1986 “Making Accounting Policy: The Quest for Credibility in Financial Reporting”. New York: Oxford University Press.
--------- November 1978 “The Politization of Accounting”, Journal of Accountancy, , pp. 65-75.
Sunder, Shyam. 1988, “Political Economy of Accounting Standards”. Journal of Accounting Literature, Vol. 7. pp. 31-41.
Suwardjono. 2005 Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Edisi ketiga, Yogjakarta: BPFE.
Wolk, Harry I., Michael G. Tearney, dan James L. Dodd. 2001 Accounting Theory: A Conceptual and Institutional Approach, Cincinnati, Ohio: South-Westrn College Publishing.
Zeff, Stephen A. 1994, The Rise of “Economic Consequences”. Dalam Stephen A. Zeff dan Bala G. Dharan, Readings and Notes on Financial Accounting: Issues and Controversies, 4th. New York: McGraw-Hill, Inc.
--------- 1987 “Some Junctures in the Evolution of the Process of Establishing Accounting Principles in the U.S.A: 1917-1972”, Dalam Robert Bloom dan Pieter T. Elgers. Issues in Accounting Policy: A Reader. New York: The Dryden Press.





Menurut kelompok kami (penulis) :

Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan jaman turut membawa perubahan yang cukup besar dalam dunia akuntansi, dimana diantaranya adalah wacana mengenai implementasi IFRS dalam proses akuntansi secara global. Menurut penulis, hal ini mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Dan uraian dibawah ini adalah pandangan penulis mengenai hal tersebut diatas.
Pada dasarnya International Financial Reporting Standards (IFRS) memang merupakan kesepakatan global standar akuntansi yang didukung oleh banyak negara dan badan-badan internasional di dunia. Popularitas IFRS di tingkat global semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kesepakatan G-20 di Pittsburg pada tanggal 24-25 September 2009, misalnya, menyatakan bahwa otoritas yang mengawasi aturan akuntansi internasional harus meningkatkan standar global pada Juni 2011 untuk mengurangi kesenjangan aturan di antara negara-negara anggota G-20. Menurut penulis, hal ini cukup baik dimana dunia akuntansi secara global mempunyai satu pedoman inti mengenai prinsip-prinsip akuntansi sehingga terdapat keselarasan diantara satu negara dengan negara lainnya.
Namun hal ini tidak mudah diterapkan dalam waktu yang singkat. Menurut penulis, terdapat 2 hal pokok yang mendasari pernyataan tersebut. Faktor pertama yang menjadi hambatan dalam penerapan standard ini (IFRS) di negara Indonesia adalah faktor budaya (culture), karena kebiasaan menggunakan standard akuntasi domestik yang sudah menjadi budaya akan sangat sulit mengubah cara/metode itu untuk menerapkan standard international tersebut, kalaupun standard ini diterapkan maka akan membutuhkan waktu yang lama untuk penyesuaian dan kemungkinan adanya sedikit perbedaan dalam implementasinya. Faktor kedua adalah proses terjemahan bahasa akan menjadi faktor kendala dalam proses penerapannya, karena proses penafsiran bahasa sedikitnya membawa arti yang berbeda dalam konteks pemahaman inti/isi standard international tersebut.