Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Jumat, 01 April 2011

The Power Of Football

"Sebelum pertandingan, seluruh keluarga besar sepak bola di Eropa harus berdiri dan bersatu di dalam stadion pekan ini. Kita harus menunjukkan simpati mendalam dan dukungan penuh kepada masyarakat Jepang."

Inilah perintah Presiden UEFA Michel Platini yang diwujudkan dalam bentuk a minute's of silencesebelum laga Liga Champion dan Liga Europa tengah pekan ini.

Platini mengajak anggotanya terus mendukung masyarakat Jepang agar tetap kuat menghadapi tragedi yang mengerikan itu.

"With you Japan". Melalui layar kaca, sungguh saya merasakan kekuatan sepak bola yang menembus segala batas. Pertandingan UEFA Champions League yang dimainkan Selasa dan Rabu, serta UEFA Europa League pada Kamis yang di gelar di Benua Eropa ditujukan untuk mendukung korban tsunami dan gempa bumi di negara Kaisar Akihito.

Di Stadion Anfield, ketika Liverpool menjamu Braga dalam duel Liga Europa (17/3), kita bisa melihat berbagai spanduk dan syal bertuliskan tanda simpati kepada Jepang.

Makna kalimat sakti "You'll Never Walk Alone" pun bak janji kepada masyarakat Jepang bahwa mereka tidak sendirian menanggung derita.

Melalui sepak bola, kita diajak untuk merasakan duka mendalam korban bencana di Negeri Matahari. Seperti halnya sumbangan aktris Hollywood Sandra Bullock sebesar 1 juta dolar Amerika, dunia diminta bersatu meringankan beban masyarakat di sana.

Gempa bumi berkekuatan 9 skala richter yang menimbulkan gelombang tsunami mencapai 10 meter bukan perihal biasa. Duka Kota Sendai jelas mengingatkan kita akan bencana serupa yang melanda Aceh dan Nias pada Desember 2004 dengan kekuatan 9,3 skala richter.

Kepedulian sepak bola terhadap bencana kemanusiaan menunjukkan kekuatan lain olah raga ini. Sadar turnamen miliknya ditonton banyak manusia di muka bumi, UEFA memainkan peran sosial dengan mendorong kepedulian terhadap korban bencana tsunami di Jepang.

Sepak bola telah berulang kali membuktikan mampu menggerakkan orang banyak, menyatukan mereka, baik itu pria dan wanita, anak-anak dan orang tua. Football sudah menunjukkan kekuatanteam work, dan kebersamaan itu dapat menghadirkan persatuan serta perdamaian.

Masih ingat kerusuhan di negara ini, khususnya di Ibu Kota, pada Mei 13 tahun lalu? Diawali krisis finansial dan tragedi Trisakti, Jakarta seperti kota mati dan penuh dengan kekerasan. Duka menyelimuti bangsa kita, isak tangis dan teriak minta tolong bak nyanyian Ibu Pertiwi.

Tapi lihatlah apa yang sepak bola berikan untuk mengobati luka kita. Sejak 10 Juni hingga 12 Juli 1998, FIFA menyediakan penawar sakit bernama Piala Dunia yang digelar di Prancis. Memang tidak menghilangkan sakit atau mengembalikan nyawa yang hilang, tapi sepak bola sungguh meredam gejolak yang bisa menambah parah Indonesia.

Sontak, perhatian yang terpusat ke Prancis menjadi alat perekat bangsa yang sungguh rentan terpecah-belah.

Sejumlah tokoh di Republik Demokratik Kongo juga sadar apa yang sepak bola bisa berikan untuk menyatukan bangsa mereka. Perang saudara berlangsung berkepanjangan sejak 1998 telah menghancurkan infrastruktur dan perekonomian negara tersebut.

Sebuah badan bernama Football Inter Communautaire (FIC) mengerti betul kekuatan yang dimiliki sepak bola. Salah satu program mereka bernama "How to use the power of football to educate youth and communities."

Ratusan orang yang berbeda sikap dan paham di Kongo terbukti bisa menikmati pertandingan sepak bola secara bersama-sama dalam sebuah stadion. FIC menyatukan komunitas berbeda dengan memakai kekuatan sepak bola.

Oh ya, seperti apa jawaban Anda bila ditanyakan, "Apakah satu dari sedikit kesamaan antara anak-anak Arab dan yahudi?"

Pernah mendengar nama Forsan Hussein? Anak lelaki ini lahir dan dibesarkan di lingkungan Arab yang tertutup di Israel (sebanyak 20% populasi Arab ada di Israel). Ia hanya mengerti bahasa Arab dan berteman hanya dengan anak-anak di lingkungannya yang tertutup itu.

Suatu ketika, saat Forsan berusia 10 tahun, ia keluar dari kelompoknya dan bertemu anak-anak Yahudi yang bercakap-cakap dengan bahasa yang tak ia mengerti.

Tapi anak-anak itu dengan cepat menyatu dalam "perbincangan" memakai bahasa sepak bola. Ya, bermain dengan si kulit bundar menghancurkan perbedaan itu.

"Ketika anak-anak bermain dalam sebuah tim, mengoper bola di antara mereka, saling memberi dukungan demi tujuan mencetak gol, mereka mematahkan rintangan dan membangun persahabatan kekal," ujar Forsan Hussein yang ketika dewasa bekerja di Soccer for Peace, sebuah yayasan di New York yang rutin mengorganisasikan pemusatan latihan sepak bola bagi anak-anak Arab dan Yahudi.

Bisakah Anda membayangkan setiap Sabtu keluarga Arab dan Yahudi duduk memberi dukungan kepada tim yang sama?

Itulah kekuatan sepak bola. Masih ingat cerita bagaimana Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela memakai football sebagai alat perdamaian dan pemersatu bangsa?

Lalu, kenapa energi dan perhatian kita belakangan ini terkuras oleh pertikaian di dunia sepak bola Tanah Air? Kenapa the power of football di Indonesia pemakaiannya berbeda? #


sumber : Weshley Hutagalung, BOLA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar